OJK Kena Kritik Pedas soal Beban Biaya Pengobatan untuk Peserta Asuransi Kesehatan, YLKI Desak Kaji Ulang: Merugikan Konsumen
- tvOnenews
Jakarta, tvOnenews.com - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI angkat bicara soal aturan co-payment atau pembagian risiko yang diterbitkan melalui surat edaran terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sekretaris Eksekutif YLKI Rio Priambodo mengatakan, aturan yang mewajibkan peserta asuransi kesehatan untuk menanggung 10 persen biaya pengobatan adalah tidak tepat.
Pasalnya, tanggungan pengobatan oleh peserta asuransi kesehatan memang sudah seharusnya dibayar penuh oleh perusahaan jasa asuransi.
"Harusnya peserta dijamin 100% oleh perusahaan asuransi sebagai bentuk pertanggungan terhadap konsumen dan itu sudah menjadi resiko," kata Rio kepada tvOnenews.com, Jumat (6/6/2025).
OJK menerbitkan Surat Edaran Nomor 7/SEOJK.05/2025 yang menetapkan bahwa pemegang polis atau nasabah akan wajib membayar minimal 10 persen dari total klaim yang diajukan, baik untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap.
Dalam SE soal co-payment itu, OJK juga menetapkan batas maksimal yang dibebankan kepada peserta asuransi adalah Rp300 ribu per klaim untuk layanan rawat jalan, dan Rp3 juta per klaim untuk layanan rawat inap.
Terkait hal tersebut, YLKI menilai bahwa aturan OJK itu timpang karena tidak berpihak ke konsumen dan justru memihak pada perusahaan jasa asuransi.
"YLKI mengkritik OJK yang merubah ketentuan aturan asuransi kesehatan. Ini jelas merugikan konsumen yang sudah terlanjur kontrak polis dengan pihak asuransi dan ditengah jalan konsumen harus dihadapkan dengan kondisi perubahan yang tidak menguntungkan konsumen dan cenderung merugikan," ujar Rio menambahkan.
Oleh karena itu, lanjut Rio, YLKI meminta kepada OJK agar melakukan kajian ulang terhadap kebijakan yang rencananya akan mulai diterapkan mulai 1 Januari 2026 mendatang.
"YLKI meminta OJK mengkaji ulang aturan pembebanan biaya 10% tersebut tentu ini berdampak besar terhadap konsumen yang sudah berjalan," jelasnya.
Dasar OJK Menerapkan Co-payment Asuransi Kesehatan
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menjelaskan bahwa aturan baru ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan OJK (POJK) Nomor 36 Tahun 2024 yang merevisi POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tentang penyelenggaraan usaha asuransi dan reasuransi, baik konvensional maupun syariah.
"Amanat POJK nomor 36 tahun 2024 untuk mengatur lebih lanjut kriteria perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah yang dapat menyelenggarakan lini usaha asuransi kesehatan," kata Ogi dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan Mei 2025, Selasa (3/6/2025).
OJK berdalih, aturan ini adalah sebagai bagian dari upaya memperkuat tata kelola industri asuransi kesehatan.
Ogi menegaskan OJK ingin memastikan adanya pembagian risiko antara perusahaan asuransi dan peserta asuransi di tengah kondisi inflasi kesehatan.
Selain itu, perusahaan asuransi juga tetap dapat memberlakukan batas maksimum yang lebih tinggi, selama terdapat kesepakatan tertulis antara perusahaan dengan pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
Kebijakan co-payment ini hanya diterapkan pada produk asuransi kesehatan yang menggunakan prinsip indemnity atau penggantian kerugian, serta produk dengan skema managed care atau pelayanan kesehatan terkelola.
Sebagai informasi, produk asuransi indemnity memberikan penggantian dana sesuai nilai kerugian yang diderita nasabah, tanpa melebihi atau kurang dari total kerugian.
Sementara itu, asuransi managed care merupakan sistem yang mengintegrasikan pembiayaan dan layanan kesehatan melalui mekanisme rujukan berjenjang dan jaringan provider yang dikurasi, demi mengendalikan biaya dan menjamin mutu pelayanan.
Lebih lanjut, dalam aturan tersebut, OJK juga menegaskan bahwa pembagian risiko (co-payment) sebagaimana dimaksud dikecualikan untuk Produk Asuransi Mikro.
Pasalnya, produk asuransi mikro ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan karakteristik sederhana, mudah diakses, murah, dan proses klaim yang cepat, guna melindungi risiko keuangan akibat kecelakaan, sakit, atau kematian.
Melihat besarnya sorotan dari masyarakat, kebijakan ini perlu dikaji lagi karena dinilai tidak berpihak pada pemegang polis, tertanggung, peserta atau nasabah yang sudah membayar rutin. (rpi)
Load more