Pers Global Kian Terpuruk, RSF Soroti Tekanan Ekonomi dan Dominasi Big Tech yang Gerus Media: Posisi RI Turun 16 Tingkat
- RSF
Jakarta, tvOnenews.com - Organisasi Reporters Without Borders (RSF) merilis Indeks Kebebasan Pers Dunia 2025 pada Jumat (3/5/2025).
Laporan tahunan itu menyoroti kondisi pers global yang kian mengkhawatirkan, tak hanya akibat ancaman kebebasan, tapi juga tekanan ekonomi yang semakin berat.
Dalam laporan terbaru, RSF menyampaikan bahwa media di berbagai penjuru dunia mengalami kemunduran signifikan.
Kebebasan pers disebut berada dalam kondisi paling buruk sejak lembaga ini mulai melakukan pemantauan.
Tekanan ekonomi menjadi sebagai salah satu faktor dominan yang menyebabkan media kehilangan daya tahan, baik dalam hal operasional maupun independensi editorial.
RSF yang berdiri sejak 1985 dan berkantor pusat di Paris, Prancis, menyebut bahwa kebebasan pers secara global kini berada dalam "titik terendah" dan mengalami kondisi yang "kritis" akibat penurunan berkelanjutan sepanjang tahun ini.
RSF menyoroti bahwa media di banyak negara menghadapi tekanan finansial serius yang berdampak langsung pada kemampuan mereka untuk bertahan dan tetap independen.
Indikator ekonomi dalam penyusunan indeks tersebut menunjukkan bahwa banyak perusahaan media terjebak dalam dilema antara menjaga kualitas jurnalistik dan mencari pemasukan untuk kelangsungan bisnis mereka.
"Ketika media berita terkendala secara finansial, mereka akan terjerumus dalam persaingan untuk menarik khalayak dengan mengorbankan pemberitaan yang berkualitas," kata Anne Bocandé, Direktur Editorial RSF, dikutip Minggu (4/5/2025).
Bocandé menegaskan, kemandirian finansial merupakan fondasi penting agar media mampu menyediakan informasi yang bebas dan dapat dipercaya untuk publik.
Berdasarkan data yang dihimpun RSF, dari 180 negara yang dinilai dalam indeks 2025, sebanyak 160 negara dilaporkan mengalami krisis keuangan di sektor medianya. Beberapa bahkan disebut tidak memiliki anggaran operasional sama sekali.
Kondisi ini berdampak langsung terhadap kelangsungan media. Pada sepertiga daftar negara yang dinilai, sejumlah organisasi pers terpaksa gulung tikar akibat kesulitan ekonomi.
Negara-negara seperti Amerika Serikat, Tunisia, dan Argentina termasuk dalam daftar tersebut.
Krisis yang dialami media di Palestina disebut jauh lebih parah. Di Jalur Gaza, serangan Israel menyebabkan hancurnya berbagai kantor media dan menewaskan hampir 200 jurnalis.
RSF juga mengkritik dominasi perusahaan teknologi raksasa (big tech) seperti Google, Apple, dan Meta. Perusahaan-perusahaan ini dinilai telah menyerap sebagian besar pendapatan iklan yang sebelumnya menjadi sumber utama pendanaan media.
Pada tahun 2024, total belanja iklan di media sosial mencapai 247,3 miliar dolar AS atau hampir Rp407 triliun, naik 14 persen dibanding tahun sebelumnya.
Selain menggerus pendapatan media, platform digital juga dianggap memperparah disinformasi dengan turut menyebarkan konten menyesatkan yang mempengaruhi ruang informasi publik.
RSF turut menyoroti konsentrasi kepemilikan media yang semakin menyempit, terutama di negara-negara di mana pemilik media memiliki keterkaitan kuat dengan elit politik.
Situasi ini ditemukan di India, Indonesia, dan Malaysia, di mana konglomerat politik mendominasi kelompok media besar.
Dalam laporan tahun ini, posisi Indonesia dalam Indeks Kebebasan Pers 2025 anjlok ke peringkat 127. Peringkat ini turun 16 tingkat dibandingkan tahun lalu.
Sementara Norwegia tetap mempertahankan posisi puncak, dan Eritrea (Afrika Timur) kembali menjadi juru kunci.
Beberapa negara lain juga mencatat penurunan, seperti Amerika Serikat turun ke peringkat 57, Tunisia ke posisi 129, dan Argentina terlempar ke peringkat 87.
Namun, India dan Malaysia justru mengalami peningkatan peringkat, masing-masing ke posisi 151 dan 88.
Laporan tentu perlu menjadi perhatian serius, mengingat bahwa tekanan ekonomi dan politik menjadi ancaman yang tak main-main bagi kebebasan pers.
Jika tidak diimbangi dengan kebijakan perlindungan yang jelas dan dukungan keberlanjutan finansial, media berisiko kehilangan fungsi utamanya sebagai penjaga demokrasi.
"Ekonomi media harus segera dipulihkan ke kondisi yang kondusif bagi jurnalisme dan memastikan produksi informasi yang dapat dipercaya, yang pada dasarnya mahal," ujar Anne Bocandé. (rpi)
Load more