Kronologi Korupsi ‘Uang Zakat’ di LPEI: Skandal Rp11,7 Triliun yang Mengguncang Keuangan Negara
- LPEI
Jakarta, tvOnenews.com - Kasus dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) menjadi pusat perhatian publik setelah terungkap adanya penyelewengan fasilitas kredit dengan kerugian negara yang fantastis, mencapai Rp11,7 triliun.
Kehebohan dalam kasus korupsi LPEI ini dimulai ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan indikasi kecurangan terkait pemberian kredit kepada Kejaksaan Agung pada 18 Maret 2024.
Dugaan fraud ini melibatkan sejumlah pejabat tinggi dan pengusaha, menciptakan gelombang keprihatinan di kalangan masyarakat dan pemerintah.
Tidak hanya mencoreng reputasi lembaga keuangan negara, kasus ini juga membuka borok dalam sistem pengawasan dan tata kelola keuangan nasional.
Kronologi Kasus
1. Pembentukan Tim Terpadu
Sebelum laporan resmi disampaikan, Kementerian Keuangan membentuk Tim Terpadu yang terdiri dari:
-
Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan
-
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
-
LPEI
-
Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun)
Tim ini bertugas meneliti kredit-kredit bermasalah di LPEI yang diduga telah diselewengkan oleh pihak internal dan debitur.
2. Temuan Awal Kecurangan
Hasil penelitian tim menunjukkan adanya fraud yang melibatkan empat debitur utama, yaitu:
-
PT RII – Nilai kredit sekitar Rp1,8 triliun
-
PT SMR – Nilai kredit sebesar Rp216 miliar
-
PT SRI – Nilai kredit sebesar Rp1,44 miliar
-
PT BRS – Nilai kredit sebesar Rp305 miliar
Namun, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan bahwa ada enam perusahaan lain yang diduga terlibat dalam kasus ini dengan total fraud Rp3 miliar.
3. Tindak Lanjut oleh Kejaksaan Agung
Setelah menerima laporan dari Sri Mulyani, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyerahkan kasus ini kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut.
4. Penetapan Tersangka oleh KPK
Pada 3 Maret 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima tersangka dalam kasus ini:
Dwi Wahyudi (DW) – Direktur Pelaksana I LPEI
Arif Setiawan (AS) – Direktur Pelaksana IV LPEI
Jimmy Masrin (JM) – Komisaris Utama PT PE
Newin Nugroho (NN) – Direktur Utama PT PE
Susy Mira Dewi Sugiarta (SMD) – Direktur PT PE
Para tersangka diduga terlibat dalam pemberian fasilitas kredit yang tidak sesuai prosedur kepada PT PE, yang mengakibatkan kerugian negara sebesar USD 60 juta.
Modus Operandi: Kredit Fiktif dan Manipulasi Dokumen
Dalam konstruksi perkara, ditemukan bahwa terdapat benturan kepentingan antara Direktur LPEI dengan debitur PT PE. Kesepakatan awal dibuat untuk mempermudah proses pemberian kredit tanpa pengawasan yang memadai. Modus yang digunakan meliputi:
-
Pemalsuan dokumen purchase order dan invoice sebagai dasar pencairan kredit
-
Manipulasi laporan keuangan (window dressing)
-
Penyalahgunaan fasilitas kredit yang tidak sesuai dengan tujuan perjanjian kredit
Kasus ini tidak hanya melibatkan empat debitur awal. Dalam proses pengembangan kasus, ditemukan bahwa dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit oleh LPEI ini melibatkan total 11 debitur, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp11,7 triliun.
"Uang Zakat" yang Disalahgunakan?
Sebutan "uang zakat" mencuat di publik karena LPEI adalah lembaga yang berfungsi sebagai penopang ekspor nasional, yang seharusnya membantu pelaku usaha kecil dan menengah untuk meningkatkan daya saing di pasar internasional.
Namun, alih-alih membantu ekonomi rakyat, dana yang seharusnya menjadi "berkah" bagi pelaku usaha malah diselewengkan untuk memperkaya segelintir orang.
Pelajaran Pahit: Pentingnya Pengawasan dan Tata Kelola
Kasus ini menyoroti betapa lemahnya pengawasan dalam tata kelola keuangan negara. LPEI, yang memiliki peran strategis dalam mendukung perekonomian nasional, justru menjadi ladang bagi praktik korupsi dan manipulasi.
Ketidakpatuhan terhadap prinsip good governance dan pengawasan internal yang lemah menjadi celah utama dalam kasus ini. (nsp)
Load more