Perry menjelaskan bahwa kenaikan inflasi inti mencerminkan peningkatan permintaan sementara kapasitas produksi nasional masih mencukupi. Ia juga memperkirakan inflasi inti ke depan akan tetap rendah, sehingga BI-Rate seharusnya bisa diturunkan. Namun, BI perlu memastikan risiko global terkendali sebelum melakukan pemangkasan suku bunga.
“Untuk memitigasi risiko global, makanya kami kemarin fokus kepada foreign exchange intervensi, baik spot maupun valas, dan jumlah cadangan devisa kami cukup. Tapi kan tidak bisa terus-terusan hanya dengan intervensi valas, sehingga kami koordinasi dengan Menteri Keuangan, yaitu SRBI dan SBN,” jelas Perry.
Gubernur BI menambahkan bahwa kebijakan APBN belum diperlukan untuk meningkatkan penjualan atau lelang Surat Berharga Negara (SBN). Oleh sebab itu, BI mendorong Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) untuk membantu stabilitas nilai tukar.
“Sehingga kenapa suku bunga SRBI-nya lebih tinggi dari SBN, karena memang (suku bunga) US Treasury Notes 2 tahun lebih tinggi dari US Treasury Bonds, dan juga untuk menghindari tekanan nilai tukar sehingga kami menjual lebih banyak SRBI. Suku bunga SRBI-nya lebih tinggi karena suku bunga US Treasury Notes-nya lebih tinggi dan supaya tidak terjadi capital outflow,” jelas Perry.
Perry juga menyebutkan bahwa pada triwulan I 2024, tercatat aliran modal asing masuk (inflow) ke SRBI sebesar Rp1,29 miliar dolar AS. Pada periode yang sama, aliran modal asing keluar (outflow) dari SBN tercatat Rp1,82 miliar dolar AS.
Inflow ke SRBI meningkat pada triwulan II 2024 menjadi Rp6,8 miliar dolar AS. Oleh karena itu, Perry menilai bahwa SRBI dapat membantu stabilitas nilai tukar rupiah.
Perry memproyeksikan, suku bunga SBN akan lebih tinggi dari SRBI di triwulan I 2025. Dengan kata lain, suku bunga SRBI akan lebih rendah.
Load more