Sleman, tvOnenews.com - Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM mendesak DPR RI dan pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran Hewan (RUU PKH) menjadi undang-undang. Salah satunya untuk menghadapi wabah penyakit menular pada hewan.
Dekan FKH UGM Teguh Budipitojo mengatakan RUU PKH tersebut sangat urgen untuk segera disahkan secepatnya.
"Kita inginnya segera ya, kalau bisa tahun ini tentu sangat membantu sekali bagi kita terutama dalam menata pendidikan kedokteran hewan dan membantu menghadapi wabah penyakit menular pada hewan di Indonesia," kata dia usai bertemu Badan Keahlian DPR RI di FKH UGM, dikutip Jumat (11/8/2203).
Teguh menjelaskan, dari data selama 25 tahun terakhir ada sekitar 12 wabah penyakit menular pada hewan. Wabah tersebut tak hanya berasal dari penyakit baru, tapi ada juga penyakit lama yang muncul kembali.
Data ini berbeda jauh jika dibandingkan dengan pada masa penjajahan Belanda hingga zaman orde baru. Selama sekitar 118 tahun, hanya ada sekitar 7 wabah penyakit yang muncul.
"Jadi dalam waktu yang pendek akhir-akhir ini berbagai macam penyakit muncul baik yang lama maupun yang baru, sementara dalam waktu yang lama waktu itu hanya ada sedikit. Nah ini urgensi juga untuk segera disahkan RUU PKH," ungkapnya.
Di samping itu, lanjut Teguh, alasan lain yang menjadikan RUU PKH harus segera disahkan adalah terkait belum adanya peraturan perundangan yang menaungi pendidikan tinggi kedokteran hewan secara spesifik.
Saat ini pendidikan tinggi kedokteran hewan masih mengikuti standar nasional pendidikan tinggi sesuai Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 sebagai penjabaran Undang-Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012.
"Padahal di kedokteran hewan itu kan sangat spesifik, nah itu belum tercover di situ. Misalnya saja regulasi terkait dengan jumlah mahasiswa yang dapat diterima oleh suatu perguruan tinggi kedokteran hewan, itu kan menyangkut berbagai macam infrastruktur yang dimiliki oleh perguruan tinggi itu sendiri."
"Selama ini baik perguruan tinggi yang sudah mapan maupun yang baru berkembang diperlakukan sama, tidak ada regulasi, terkait jumlah mahasiswa yang bisa dididik oleh perguruan tinggi, itu gak ada," urainya.
Pria yang juga menjabat Ketua Asosiasi Fakultas Kedokteran Hewan Indonesia (AFKHI) itu menambahkan, persoalan lain yang mendesak adalah terkait akreditasi. Selama ini akreditasi masih menginduk pada Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan Tinggi Kesehatan (LAM PTKes).
"Ujung pendidikan itu kan menghasilkan dokter hewan yang berkualitas. Untuk menghasilkan yang berkualitas itu lah maka standar khusus pendidikan kedokteran hewan itu harus ada, nah itu belum ada sampai saat ini, sehingga perlu ada satu badan yang menaungi, ada satu undang-undang yang mengatur hal ini," terangnya.
Di sisi lain, Indonesia juga belum memiliki apa yang disebut Veterinary Statutory Body (VSB) atau konsil kedokteran hewan Indonesia. Lembaga ini adalah lembaga independen yang mengatur, baik lembaga pendidikan tinggi itu sendiri maupun lulusannya.
Sebab menurutnya, setelah perguruan tinggi menghasilkan dokter hewan maka profesinya itu juga perlu diatur. Apalagi lembaga sejenis ini menjadi tuntutan organisasi kesehatan hewan dunia, bahwa di suatu negara itu harus memiliki VSB.
"Hampir semua negara Asean itu sudah punya, iya ASEAN saja lah gak usah jauh-jauh. Nah kita Indonesia belum punya padahal katanya kita menjadi leading sector di ASEAN. Memang agak ironi," tegasnya.
Akibatnya, lanjut dia, pendidikan tinggi kedokteran hewan Indonesia tidak dilibatkan dalam pembahasan penyusunan akreditasi khusus pendidikan tinggi kedokteran hewan di tingkat regional Asia Tenggara sekalipun.
"Oleh karena itu UU PKH ini juga diharapkan menjadi salah satu regulasi yang nantinya memberi kewenangan untuk membuat VSB itu," ucapnya.
Sementara itu, PLT Kepala Pusat PUU Bidang Ekuinbagkesra Wiwin Sri Rahyani menyebut saat ini prosesnya masih dalam tahap penyiapan penyusunan RUU di Badan Keahlian DPR.
"Prosesnya masih panjang karena sekarang di internal tim Badan Keahlian DPR dielaborasi menjaring masukan-masukan seluruh stakeholder dan masyarakat dalam konteks meaningful participations," ujarnya.
Nantinya setelah proses di internal Badan Keahlian DPR, kata Wiwin, baru dilaporkan ke alat kelengkapan DPR yang terkait, yakni di Komisi X. Setelah itu baru dilakukan tahapan pengharmonisasian di Badan Legislasi DPR.
"Kemudian baru nanti ditetapkan menjadi RUU usul dari DPR dan selanjutnya disampaikan ke presiden untuk dibahas bersama dengan pemerintah. Jadi memang prosesnya masih lumayan banyak yang harus dilalui," bebernya.
Ditanya terkait target, Wiwin belum bisa memastikan kapan RUU PKH ini akan rampung dan disahkan menjadi UU. Sebab hal itu juga bergantung pada fleksibilitas dan dinamika politik yang sangat dominan.
"Untuk target misalnya Pemilu itu Februari 2024 dan berakhir di 1 Oktober 2024 dengan keanggotaan periode baru, harapan kami sebagai supporting system bahwa RUU ini bisa selesai minimal di akhir masa jabatan anggota DPR periode ini. Mudah-mudahan di tahun depan dengan segala arah kebijakan politik dari DPR ini menjadi salah satu hal yang diprioritaskan untuk diselesaikan," pungkasnya. (apo/buz).
Load more