Sumatera - Sejak menyandang status critically endanger (kritis) yang ditetapkan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 2012, kondisi konservasi gajah menjadi atensi baik oleh pemerintah maupun kalangan NGO yang fokus pada penanganan populasi dan kesehatan gajah.
Menyoroti kondisi tersebut, pemerhati konservasi dan kesehatan gajah Sumatera, drh. Muhammad Wahyu berharap kepada pihak-pihak yang mencintai dunia satwa agar berperan mendukung perkembangan populasi gajah jinak.
“Harapan saya, bila membuat kebun binatang, peliharalah gajah. Itu sudah berpartisipasi dalam konservasi gajah. Dengan memelihara gajah, kita bisa menghasilkan, memproduksi, membreeding gajah itu tadi,” kata Muhammad Wahyu saat diskusi daring bersama Presiden Direktur Carnaval Zoo, Claudia Ingkiriwang beberapa waktu lalu.
Saat disinggung mengenai spesialisasi penanganan kesehatan dan peningkatan populasi gajah di Indonesia, menurut Wahyu, hingga saat ini belum ada lembaga atau universitas di Indonesia yang menyediakan bidang khusus tersebut. Sehingga upaya peningkatan populasi gajah hanya bisa dilakukan secara alami tanpa proses inseminasi buatan seperti yang telah dilakukan oleh negara Thailand.
“Untuk Negara yang fokus terhadap pengembangan kapasitas dokter hewan dan mahout itu sejauh ini yang saya pahami adalah di Thailand. Mereka jauh lebih advance dalam menangani tindakan-tindakan medis terhadap gajah. Bahkan sampai yang namanya inseminasi buatan terhadap gajah juga sudah mereka lakukan dalam hal mengantisipasi kepunahan gajah dengan mengkondisikan pembiakan untuk memelihara stok genetik daripada gajah-gajah mereka,” lanjut dokter hewan yang beberapa kali terlibat dalam pelatihan di Chiang Mai dan Kasetsart University di Thailand.
Untuk dapat berpartisipasi dan berkontribusi dalam pelestarian dan perlindungan gajah Sumatera, VESSWIC sebelumnya dan akan dikuti dengan Ganesha Aksara Sumatera juga telah bekerjasama dengan Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam hal pengerjaan medis sebagai upaya peningkatan kepasitas dokter hewan dalam menangani satwa-satwa liar.
“Dengan itu tadi, kami juga memberanikan diri untuk bekerja sama dengan universitas, dimana universitas memiliki biaya tambahan, SDM dari mereka, teknologi ada di mereka, di sana lah kita berkolaborasi dalam menciptakan sistem atau mengkader dokter-dokter gajah, berikutnya dengan pola-pola magang di Ganesha atau di Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation (VESSWIC) sebelumnya. Untuk kemudian secara akademis diukur oleh universitas,” tegas Muhammad Wahyu.
“Jadi seperti VESSWIC sebelumnya sudah bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada dan Universitas Brawijaya untuk hal-hal persiapan SDM dan pengembangan kapasitas dokter hewan. Jadi sifatnya take and give,” lanjut Wahyu.
Berdasarkan data terakhir, jumlah gajah liar dan jinak di Pulau Sumatera hanya berkisar 1700-an. Sebanyak 500-an ekor diantaranya merupakan gajah jinak dengan rincian 250 ada di Sumatera, selebihnya ada di Bali, dan Pulau Jawa. Selain faktor konflik satwa dan perburuan, dari segi kesehatan, terdapat beberapa faktor yang mendorong tingginya angka kematian pada gajah.
“Tahun 1999 Sampai 2006 kami menemukan 3 kasus tetanus pada gajah. Ketika kita mengobatinya, kita membutuhkan uang yang sangat banyak sekali. Tahun 2006 itu saja sekitar Rp200 juta yang kita habiskan untuk membeli obat-obatan dan operasional tim dokter, dan peralatan yang kami butuhkan. Saya sempat frustasi, kalau begini terus, uang habis banyak, tapi gajah mati juga. Dari situlah saya berkolaborasi dengan Laboratorium Balai Penelitian Ternak Bogor untuk membuat vaksin tetanus,” terang dokter Wahyu.
Lalu berikutnya, lanjut Wahyu, Tim dokter dari VESSWIC dihadapkan pada penyakit Elephant Endotheliotropic Herpes Virus (EEHV). Penyakit ini merupakan ‘momok’ bagi dunia dikarenakan belum ada obat dan vaksin yang paling efisien untuk mengatasinya. EEHV umumnya menyerang pada gajah yang berusia 1 hingga 10 tahun.
“Dari Aceh sampai Lampung ada sekitar 7 ekor yang mati dari tahun 2012 sampai 2014. Waktu itu keadaannya frustasi juga, ketika menunjukkan gejala klinis, kurang dari 24 jam, bahkan ada yang 7 jam langsung mati,” kenang Wahyu.
Dokter Hewan Sedang Memandikan Seekor Gajah
Dengan munculnya berbagai faktor kepunahan pada gajah, Wahyu menyarankan kepada pihak-pihak yang berperan dalam konservasi gajah, termasuk kebun binatang agar mengejar peningkatan populasi gajah jinak melalui pengembang-biakan (breeding) dan menjaga tingkat kematian gajah di alam dengan pencegahan konflik melalui patroli rutin.
“Bagaimana kita melakukan koordinasi dan edukasi pada mahout yang bergaul dengan anak gajah sehari-hari, untuk sekiranya dapat mendeteksi gejala-gejala awal agar tim dokter bisa melakukan pengobatan atau perawatan. Itu yang bisa kita lakukan agar menjaga populasi gajah agar tidak berkurang,” tutup Muhammad Wahyu, dokter hewan yang telah berperan dalam konservasi gajah selama 20 tahun. (Wana/Aag)
Load more