Mukomuko, Bengkulu - Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, Ramdani mengatakan, sebanyak 24 desa di 7 kecamatan di daerah tersebut masuk zona merah rawan bencana gempa disusul gelombang tsunami.
Puluhan desa itu, kata Ramdani, berada di sepanjang pesisir Pantai Barat Sumatera, Kabupaten Mukomuko. Meskipun demikian di daerah rawan bencana tersebut sudah terdapat titik-titik jalur evakuasi dan titik kumpul yang tersebar disejumlah kecamatan di Mukomuko seperti di Kecamatan Air Rami, Ipuh, Pondok Suguh, Air Dikit, Kota Mukomuko, XIV Koto dan Kecamatan Lubuk Pinang.
"Kami BPBD Kabupaten Mukomuko, selalu melakukan sosialisasi kepada masyarakat khususnya masyarakat atau nelayan di wilayah pesisir pantai sepanjang Kabupaten Mukomuko," ujar Ramdani, Jumat (26/8/2022).
"Semoga tahun ini, ada tambahan pembuatan rambu titik jalur evakuasi. Kita juga telah melakukan kegiatan mitigasi dengan melibatkan masyarakat," lanjut Ramdani.
Ramdani mengimbau, agar masyarakat tetap waspada. Masyarakat Mukomuko dapat meningkatkan kewaspadaan dalam rangka mengantisipasi hal-hal tak terduga khususnya bencana alam gempa bumi disusul gelombang tsunami.
"Kita juga sudah membentuk kelompok masyarakat tangguh bencana," sambung Ramdani.
Potensi gempa di Provinsi Bengkulu dengan kekuatan di atas Magnitudo (M=) 8, diprediksi secara ilmiah sudah dipetakan. Baik preduksi potensi dari Megathrust Enggano, Pulau Enggano, Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, maupun Megathrust Mentawai, Sumatera Barat - Pagai, memiliki dampak yang cukup serius jika benar-benar terjadi.
Namun, potensi kapan waktu belum ada teknologi yang mampu memprediksi secara pasti. Begitu juga besaran pasti nya ketika terjadi, belum bisa diprediksi.
"Di dalam ketidakpastian itu, yang paling penting kita siapkan adalah usaha mitigasi. Baik mitigasi struktur maupun non-struktur harus diperkuat di sepanjang kawasan berpotensi terdampak tsunami," ungkap Pengamat Meteorologi dan Geofisika (PMG) Ahli Muda,Stasiun Geofisika Kepahiang, Bengkulu, Sabar Ardiansyah saat dihubungi tvonenews.com, Jumat (26/8/2022).
Mengambil pelajaran pasca terjadi gempa-tsunami 2011, Jepang membagi kawasan pesisir menjadi dua bagian. Kawasan pertama adalah kawasan berjarak satu kilometer dari bibir pantai, merupakan kawasan yang terkena dampak tsunami dengan periode ulang 30-150 tahun.
Sementara, kawasan kedua berjarak tiga kilometer dari bibir pantai, yaitu kawasan yang terkena dampak tsunami dengan periode ulang di atas 200 tahun.
Kedua kawasan ini, kata Sabar, tidak boleh diisi dengan pemukiman. Kawasan pertama hanya boleh dimanfaatkan untuk pariwisata dan konservasi.
Sementara, kawasan kedua hanya boleh dimanfaatkan untuk industri dan pertanian. Tentunya dengan syarat ketat mendirikan bangunan tahan gempa.
"Untuk kawasan pesisir yang belum terjadi tsunami namun sudah padat penduduk, edukasi dan pelatihan evakuasi menjadi program utama. Jepang melakukan gladi evakuasi tsunami di kawasan rawan tsunami setidaknya tiga kali dalam satu tahun," jelas Sabar.
Chili, sampai Sabar, boleh dilirik bila bicara mengenai persiapan mengantisipasi bencana. Negara di Amerika Selatan ini dihadapkan dengan kondisi alam yang mirip Indonesia : rawan bencana. Namun, berkat mitigasi terukur, Chili lebih siap menghadapi gempa bumi.
Sabar mencontohkan, pada 2014, gempa dengan kekuatan M=8,2 mengguncang pantai utara Chili dan memicu tsunami. Untungnya mereka sudah menyiapkan diri.
Adanya deteksi dini tsunami membuat sekitar satu juta orang dipindahkan ke lokasi aman. Deteksi dini dan persiapan bencana itu merupakan pelajaran yang dipetik dari gempa 2010 dengan kekuatan M=8,8 dan tsunami yang mengikutinya.
Kemudian pada 2015, ketangguhan mitigasi Chili kembali diuji dengan gempa berkekuatan M=8,5 di daerah Coquimbo, gempa ini memicu tsunami dengan ketinggian 4,5 meter.
"Korban jiwa tetap ada, namun hanya 9 orang saja. Sangat sedikit jika dibandingkan dengan gempa Palu, Sulawesi Tengah 2018 dengan kekuatan M=7,4 korban jiwa mencapai 2.045 orang serta ratusan orang dinyatakan hilang tersapu tsunami," kata Sabar.
Lantas apa yang membedakan? Sabar menjelaskan, jawabannya adalah persiapan yang matang. Pada satu momen, tim penyelamatan dari Peru, El Savador, Amerika Serikat, dan Spanyol tergabung dalam simulasi bertajuk simex 2015 di Santiago, ibu kota Chili.
Dalam latihan tersebut, kata Sabar, digelar pula simulasi jika Chili diguncang gempa dengan kekuatan M=9,0 berpusat di Santiago.
"Dan itu bukan latihan sekali jalan. Dalam skala luas, warga dibiasakan melakukan simulasi (drill) evakuasi minimal enam atau tujuh kali dalam satu tahun. Di seluruh kawsan," sampai Sabar.
Di luar itu, lanjut Sabar, pemerintah sudah siapkan sistem peringatan baru. Dalam kasus Coquimbo, beberapa menit setelah gempa, sirine meraung mengirim peringatan.
Ambulans, pemadam kebakaran, polisi turun mengatur lalu lintas. Ada juga petugas khusus yang memaksa para penduduk yang masih bertahan di rumah untuk keluar dan berlari ke arah bukit.
Ihwal penting lainnya, tambah Sabar, adalah menetapkan standar kekuatan bangunan. Pemerintah membuat aturan ketat yang mensyaratkan bangunan baru untuk bisa bertahan dari gempa berkekuatan M=9,0.
Di Indonesia, sambung Sabar, zona rawan gempa dan tsunami sudah dipetakan, pertanyaanya sudah tersosialisasikah kepada masyarakat yang terpapar langsung? Sudah siapkah semua komponen menghadapinya? Sudah berapa kali kita melakukan simulasi (drill)? Jangan sampai ribuan nyawa kembali hilang. (Rgo/Aag)
Load more