Selain akrab dengan film kartun atau anime Jepang, anak-anak hingga remaja di Indonesia juga sudah familiar dengan seni melipat kertas origami.
Kegiatan yang menyenangkan sekaligus bermanfaat mengasah motorik halus itu mendapat atensi tersendiri dari Dr. Ina Ika Pratita, M.Hum dosen program studi Pendidikan Bahasa Jepang Universitas Negeri Surabaya.
Baginya seni melipat kertas origami bisa menjadi media yang menyenangkan bagi anak-anak dan remaja di Indonesia untuk belajar budaya sekaligus bahasa Jepang.
“Sambil belajar seni melipat kertas origami ini, kita juga bisa kenalkan kepada mereka dasar-dasar bahasa Jepang sehingga bisa memacu minat mereka untuk belajar bahasa Jepang lebih lanjut,” katanya.
Tak sendirian, Dr Ina bersama rekan-rekannya yakni Dra. Parastuti, M.Pd., M.A., Dra. YovinzaBethvine Sopaheluwakan, M.Pd., dan Dra. Nise Samudra S, M.Hum terjun langsung ke SMAN 1 Manyar, Gresik, untuk mengajarkan seni Tsuru Kazari Origami dan Warabe Ningyou Origami.
“Lewat kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) ini, kami ingin mengenalkan tradisi dan budaya yang terkenal dari negara Jepang yakni seni melipat kertas Tsuru Kazari Origami dan Warabe Ningyou Origami,” ucap Dr Ina.
Tsuru Kazari Origami
Rangkaian seribu bangau kertas itu kemudian digantung di rumah dengan harapan satu permohonan yang diucapkannya akan terkabul.
“Bagi masyarakat Jepang, bangau dikenal sebagai makhluk suci yang dapat hidup hingga ribuan tahun. Karena itulah, salah satu permohonan yang kerap mereka ucapkan adalah agar diberi umur panjang dan kesembuhan dari penyakit yang diderita,” jelas Dr Ina.
Hal ini berkaitan dengan kisah yang menimpa seorang gadis Jepang bernama Sadako Sasaki yang meninggal dunia karena penyakit leukemia yang dideritanya. Penyakit yang ia derita akibat dari pancaran radiasi ledakan bom Hiroshima saat perang Dunia II.
Saat itu Sadako masih berusia dua tahun. Selama menjalani perawatan dan pengobatan di rumah sakit itulah Sadako berusaha melipat seribu bangau kertas dengan harapan memperoleh kesembuhan.
Sayang, harapannya tidak terwujud. Sadako meninggal pada usia dua belas tahun. Untuk mengenangnya, dibuatlah patung Sadako dengan burung bangau emas di tangannya dan dipajang di Taman Monumen Perdamaian Hiroshima.
Sebagai bentuk dedikasi kepadanya, rakyat Jepang pun menetapkan tanggal 6 Agustus sebagai Hari Perdamaian.
Alasan lainnya mengapa seni melipat kertas di Jepang menjadikan bangau sebagai simbol karena masyarakat setempat mengenal burung bangau sebagai hewan yang sangat setia pada pasangannya.
“Karena itu pula rakyat Jepang juga menjadikan bangau sebagai lambang cinta dan kesetiaan,” terangnya.
Warabe Ningyou Origami
Teknik dasar yang digunakan dalam pembuatan ningyou adalah melipat, menggunting, dan menempel. Sesuai dengan polanya, bagian-bagian boneka disiapkan seperti bagian kepala, rambut, atau kimono. Setelah itu, dengan teknik melipat dan menempel, boneka siap dibentuk.
Susunan ningyou dalam perayaan hinamatsuri: Boneka diletakkan di atas panggung bertingkat yang disebut dankazari (tangga untuk memajang).
Jumlah anak tangga pada dankazari ditentukan berdasarkan jumlah boneka yang ada. Masing-masing boneka diletakkan pada posisi yang sudah ditentukan berdasarkan tradisi turun temurun.
Kemudian panggung dan kazari diberi alas selimut tebal berwarna merah yang disebut hi-mosen.
Setelah mendapatkan materi tentang seni Tsuru Kazari Origami dan Warabe Ningyou Origami, sebanyak 75 siswa SMAN 1 Manyar Gresik tampak tak sabar untuk praktik menjajal teknik melipat kertas ala Negeri Sakura itu.
“Kegiatan ini sangat seru. Kalau bisa diadakan rutin mengenalkan budaya-budaya Jepang seperti ini,” ujar salah seorang siswi yang nampak antusias melipat origami miliknya.
Para siswa bahkan meminta hasil karya mereka agar dipajang di ruangan multimedia tempat pelaksanaan kegiatan. Tidak sedikit dari mereka yang mengabadikan hasil karya mereka dengan berswafoto.
“Semoga media pembelajaran yang menyenangkan seperti ini juga dapat memicu minat belajar siswa sebagaimana semangat dari program project base learning yang digaungkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi," pungkas Dr Ina.
Load more