Ahli Hukum Unmuh Jember: RKUHAP 'Monster' Baru Sistem Peradilan
- sinto sofiadin
Jember, tvOnenews.com - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang tengah dibahas berpotensi membawa perubahan signifikan dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Salah satu perubahan yang paling disorot adalah penguatan peran dominus litis pada Kejaksaan yang berarti memberikan lembaga tersebut kontrol lebih besar dalam proses penyidikan, penuntutan, hingga pengawasan terhadap lembaga penegak hukum lainnya.
Meskipun penguatan ini bertujuan meningkatkan efektivitas dan mempercepat proses hukum, penguatan dominasi Kejaksaan tanpa adanya mekanisme pengawasan yang ketat dapat menciptakan celah bagi penyalahgunaan wewenang serta memunculkan potensi impunitas bagi pihak tertentu. Ini menjadi sorotan utama dalam diskusi yang digelar di Universitas Muhammadiyah Jember dengan narasumber ahli hukum tata negara, Prof. Margarito Kamis.
"Dominus Litis ini berpotensi menciptakan masalah baru. Jika pengawasan terhadapnya tidak diperkuat, kita justru akan menciptakan 'monster' baru dalam sistem peradilan," ungkap Prof. Margarito, Kamis, yang mengkritik penguatan kewenangan Kejaksaan dalam RKUHAP.
Salah satu peserta diskusi, Mahrus Sholih, mempertanyakan terkait potensi jual beli status tahanan di Kejaksaan serta kewenangan yang ugal-ugalan apabila RKUHAP tetap disahkan.
Menanggapi pertanyaan itu, Prof. Margarito, Kamis menegaskan hal itu bukanlah tidak mungkin. Mengingat proses penyelidikan yang diberikan kepada kepolisian hanya terbatas 14 hari.
Prof. Margarito menilai bahwa penguatan dominus litis Kejaksaan dapat menghilangkan keseimbangan antara lembaga penegak hukum lainnya, seperti kepolisian. Jika tidak ada mekanisme cek and balance, menurutnya, hal ini bisa berisiko besar.
“Jika tidak ada cek perkara, itu akan menjadi berbahaya,” tambahnya.
Ia juga mengkritik durasi penyelidikan yang dibatasi hanya 14 hari, yang ia anggap tidak realistis dan berpotensi membuka ruang bagi penyalahgunaan kewenangan.
“14 hari untuk penyelidikan itu omong kosong. Harus dibicarakan dengan serius,” tegasnya.
RKUHAP memberikan Kejaksaan beberapa kewenangan baru, seperti intervensi dalam penyidikan dan kontrol terhadap proses prosedural. Salah satu ketentuan yang disorot adalah Pasal 8 dan Pasal 11, yang memungkinkan pelapor untuk langsung mengajukan laporan ke penuntut umum jika penyidik tidak bertindak dalam waktu 14 hari. Selain itu, Kejaksaan juga diberi hak untuk mengajukan permohonan terkait sah tidaknya penangkapan, penahanan, dan penggeledahan.
Namun, penguatan peran Kejaksaan ini dinilai bisa menciptakan ketimpangan kekuasaan dalam sistem peradilan pidana. Hal ini menjadi semakin relevan mengingat lemahnya sistem pengawasan eksternal yang ada.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember, Ahmad Suryono, menyatakan bahwa RKUHAP tidak menawarkan solusi nyata bagi masalah hukum di Indonesia.
“Jika tujuan revisi ini adalah untuk meningkatkan efektivitas hukum, kenapa justru model yang diadopsi adalah yang telah ditinggalkan oleh negara-negara maju seperti Belanda?” ungkapnya.
Suryono mengkhawatirkan bahwa jika kewenangan penyelidikan dan penuntutan dipusatkan hanya pada Kejaksaan, tanpa mempertimbangkan kesiapan SDM dan infrastruktur yang memadai, justru akan memperburuk kondisi penegakan hukum di Indonesia.
"Kasus-kasus yang mangkrak sekarang saja sudah banyak, apalagi jika semua kewenangan dipusatkan di kejaksaan," tambahnya.
Sistem penguatan Kejaksaan dalam RKUHAP sering kali dibandingkan dengan sistem di Korea Selatan, di mana Kejaksaan memiliki peran dominan dalam proses penyelidikan dan penuntutan. Namun, seperti yang dicatat oleh Jan Terpstra dalam bukunya Police Reform as Institutional Change (2020), negara-negara dengan tingkat kepercayaan rendah terhadap institusi hukum cenderung melihat peningkatan kewenangan aparat hukum sebagai bentuk represi terhadap warga negara, bukan sebagai alat untuk menegakkan keadilan.
Secara keseluruhan, meskipun penguatan Kejaksaan dalam RKUHAP dapat mempercepat proses peradilan, perubahan ini harus disertai dengan reformasi serius terhadap sistem pengawasan. Tanpa pengawasan yang ketat, risiko terjadinya penyalahgunaan wewenang dan ketimpangan kekuasaan dalam sistem peradilan akan semakin besar. RKUHAP perlu dievaluasi ulang agar tidak mengorbankan prinsip due process of law demi efisiensi yang belum tentu menghasilkan keadilan. (sss/far)
Load more