Surabaya, tvOnenews.com - Jelang dialog uji publik capres cawapres Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka yang digelar Pengurus Pusat (PP) Muhammadyah di Universitas Muhammadyah Surabaya (UMS) menarik perhatian sejumlah kalangan, termasuk pakar komunikasi di Kota Surabaya. Gaya komunikasi capres–cawapres nomor urut 2 ini dinilai lebih menarik dan terbuka. Terlebih gaya komunikasi Gibran, yang dinilai berbeda dari sebelumnya.
"Mungkin kita masih ingat saat dia muncul di depan publik pertama kali, saat dikenalkan Presiden Joko Widodo," kenang Kiky, panggilan akrab Rizky Wulandari, saat ditemui di Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa AWS).
Saat itu, kata Kiky, Gibran terkesan enggan muncul di depan publik. Pernyataannya cenderung emosional gara-gara dituding tidak mendukung langkah ayahnya, Presiden Jokowi, saat pemilihan presiden.
Gibran juga lebih bersifat protektif dengan memunculkan pernyataan-pernyataan yang kurang terukur. Masih beruntung, saat itu masyarakat cenderung penasaran, ingin tahu lebih detail sosok-sosok dalam keluarga Jokowi.
"Mungkin dari sisi usia, saat itu Gibran masih sangat muda. Dia juga lebih aktif sebagai pebisnis yang kerap menggunakan komunikasi efektif dan efisien," terang Kiky.
Penguatan Public Speaking
Kini, lanjutnya, Gibran sudah memasuki tahap penguatan public speaking. Setidaknya ada pertumbuhan signifikan dari sisi kejelasan komunikasi, yakni teknik penyampaian ide atau pesan secara jelas dan terstruktur.
"Gibran relatif sudah menggunakan kata-kata yang mudah dipahami oleh audiens. Mungkin karena sudah melibatkan konsultan? Saya nggak ngerti. Dulu dia sempat nyeletuk begitu di sebuah acara televisi," katanya sambil tersenyum.
Yang jelas, kata Kiky, kekuatan public speaking memiliki peran penting dalam panggung politik. Lewat public speaking, salah satunya, diharap mampu mendorong audiens agar terpengaruh, termotivasi, tergerak, atau setidaknya tertarik.
"Lewat teknik yang benar, public speaking membuat kita bisa mendapat perhatian. Sehingga ada ketertarikan, atau mempertahankan minat audiens," tegasnya.
Dari pengamatan terhadap sosok Gibran, mulai dari pertemuan dengan Prabowo Subianto saat deklarasi, pendaftaran di KPU, bertemu awak media saat tes kesehatan, hingga pengundian nomor urut capres dan cawapres, Gibran kini lebih tenang dan lebih terbuka.
"Ia memiliki keterampilan verbal dan non verbal cukup baik. Kalaupun ada persoalan lebih pada sisi intonasi dan volume suara. Juga gerak tubuh dan ekspresi wajah yang kurang mendukung pesan yang disampaikan," kata Kiky.
Beruntung, Gibran adalah tokoh publik yang secara karakter sudah lekat di media massa sejak 2014. Orang akhirnya cenderung maklum.
"Gibran datang bertemu wartawan untuk klarifikasi soal ijazah, ini langkah yang bagus. Tak banyak politisi kita mau melakukan klarifikasi secara terbuka. Dukungan pernyataan dari juru bicara Gibran, Emil Dardak, makin memperjelas proses klarifikasi," papar Kiky.
Meski harus diakui, proses klarifikasi ini bukan langkah mudah. Karena audiens cenderung percaya pada narasi dan narasumber yang lekat dengan perspektif, sudut pandang, dan keyakinan yang dimiliki sejak awal.
Penguasaan Masalah
Catatan lain yang harus dilakukan Gibran, kata Kiky, adalah penguasaan masalah. Dosen Public Relations dan Marketing Communications di Stikosa AWS ini percaya, kemampuan komunikasi yang baik harus didukung referensi yang kuat. Gibran juga perlu memperkuat performance saat bicara di depan publik lewat ekspresi yang kuat, selaras dengan narasi yang disampaikan.
"Kepercayaan diri sangat dibutuhkan dalam public speaking. Bagaimana ia tampil dengan penuh percaya diri di depan audiens, tetap tenang saat diserang, tak gampang lupa daratan saat menerima pujian tetap mengendalikan situasi dalam kondisi apapun," kata Kiky.
Sebagai tokoh publik yang aktif bersosial media, Gibran harusnya terbiasa dengan segala umpan balik. Selanjutnya tinggal penguatan perkembangan kualitas komunikasi secara berkelanjutan, komitmen untuk terus belajar dan meningkatkan kemampuan.
"Gibran juga perlu menjaga relevansi pesan," ingat Kiky.
Karena, lanjutnya, public speaking dalam sebuah kegiatan politik tidak bisa tidak mengarah pada target membangun keterhubungan dengan pemilih dan calon pemilih.
"Jadi tidak hanya citra dan reputasi. Tapi harapan audiens yang wajib dipenuhi," tutupnya. (msi/far)
Load more