Surabaya, tvOnenews.com - Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang Penundaan Pemilu 2024 yang kemudian menjadi kontroversi. Namun, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan banding yang diajukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan menolak permohonan Partai Prima.
Dalam putusannya Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menyatakan bahwa PN Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Putusan banding tersebut menganulir putusan PN Jakarta Pusat yang sebelumnya mengabulkan gugatan Partai Prima.
Saat itu, PN Jakarta Pusat menyatakan bahwa KPU melakukan perbuatan melanggar hukum dalam saat melakukan verifikasi, sehingga menyebabkan Partai Prima tidak lolos, dalam putusannya, PN Jakarta Pusat memerintahkan KPU menunda Pemilu 2024 dalam jangka waktu 2 tahun 4 bulan 7 hari. Namun, dengan adanya putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta itu, maka Pemilu 2024 akan dipastikan tetap dilaksanakan sesuai dengan jadwal, yakni pada 18 Februari 2024 mendatang.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agusutus (Untag) Surabaya, DR Hufron SH MH, meski dalam tingkat banding penggungat dalam hal ini Partai Prima, dan tergugat KPU RI masih tetap bisa mengajukan kasasi untuk sampai pada putusan yang berkekuatan hukum tetap.
“Putusan kasasi akan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, karena sesunguhnya berdasar peraturan perundang-undangan, ada sengketa proses di satu sisi, dan ada sengketa administrasi disisi yang lain itu kewenangan Bawaslu yang dari bawah sudah diproses,” ujar DR Hufron SH MH.
Hufron menjelaskan, jika dianggap kemudian ternyata itu tidak memenuhi harapannya dia bisa mengajukan ke PTUN, jadi dia diberi cluster bahwa kaitannya dengan sengketa Administrasi dalam hal ini adalah kaitannya dengan verifikasi administratif, yang kemudian menyatakan Partai Prima tidak memenuhi hasil verifikasi administrasi.
“Maka gugatannya harus ke Bawaslu dulu, nanti tingkat berikutnya baru ke PTUN. Karena itu, tidak tepat kalau (sengketa) ini diajukan ke Pengadilan Negeri,” tutur lelaki kelahiran Lumajang, 06 Maret 1968 ini.
“Saya memiliki catatan bahwa terkait verifikasi administratif, dimana KPU memiliki aplikasi namanya sistem informasi partai politik, ketika itu diajukan keberatan ke Bawaslu, dan juga disampaikan pada waktu itu di gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta bahwa Sispolnya KPU itu seringkali error. Ternyata juga dianggap tidak bisa memberikan prosentase pemenuhan persyaratan yang stabil, yang itu memberikan kepastian hukum,” terangnya.
Jadi, menurut Hufron, satu persoalan baru yang penting adalah bahwa sispol inilah yang harus establish, harus mapan dan harus stabil, serta dikelola secara terbuka. Sehingga, di situ ada proses akses akses stabilitas dan akuntabilitas yang kemudian bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini dinilai penting karena persoalan ini juga akan memunculkan perkara-perkara yang sama ke depannya.
“Termasuk kemarin bahwa Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang kemudian mengadili tentang sengketa proses Pemilu, itu ternyata juga diikuti oleh partai-partai lain. Jadi ini seolah-olah dianggap sebagai yurisprudensi. Padahal ini belum berkekuatan hukum tetap tetapi catatan saya adalah paling penting ke depan soal sispol. Ini yang menurut saya harus dibikin satu sistem yang mapan, yang kemudian tidak sering error. Sehingga bisa memberikan kepastian hukum dan apa stabilitas publik yang memiliki validitas yang bisa dipertanggungjawabkan” pungkasnya. (msi/gol)
Load more