Bandung, tvOnenews.com - Sepintas, gambar sebuah kursi yang sedang dilukis Nundang Rundagi (60) seperti mudah diterka maknanya. Di atas kanvas ukuran 120x150 centimeter, kursi beraksen kekuningan itu tampil di atas latar warna merah.
Gambar kursi itu memang mimesis dari sebuah kursi rotan yang terletak sepenggapaian tangan dari pelukisnya.
Kursi rotan yang menjadi objek lukis itu sudah reyot, tetapi menurut si empunya, kursi itu sering menjadi rebutan seisi rumah karena meski ringkih tetap nyaman untuk diduduki.
Di bawah gambar kursi itu, gambar tangan-tangan berwarna-warni tampak sedang berusaha menggapainya.
Audiens dapat menerka bahwa itu adalah kursi kekuasaan. Apalagi menjelang tahun-tahun politik seperti sekarang ini di mana pikiran orang dijejali soal kursi, kursi, dan kursi.
"Khawatir ada orang yang tak tahu ini gambar kursi, maka diberi tulisan," kata Nundang.
Di halaman rumah yang diliputi pepohonan rimbun di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (19/2/2023), Nundang menggelar kegiatan melukis bersama.
Bagian depan rumah tersebut sejatinya hibrid sebagai warung kopi. Namanya, warung kopi "Nugenah". Ada tempat-tempat duduk yang nyaman, koleksi lukisan pelukis-pelukis Indonesia seperti Salim, dan sajian kopi lokal.
Nundang mengundang peminat seni menggambar mulai dari anak-anak, remaja, sampai orang yang sebaya dengannya.
Mereka menggambar di atas kanvas dengan menggunakan cat air. Ada juga yang membawa cat semprot untuk membuat mural di dinding pos ronda, tidak jauh dari rumah itu.
Selain ada yang asyik melukis, sekelompok remaja asyik mencatat kegiatan itu untuk kemudian hasil catatan itu dijadikan tulisan naratif. Para remaja ini datang dari Taman Baca Masyarakat (TBM) Pohaci.
Kegiatan melukis dan menulis di teras rumah putra sastrawan Ajip Rosidi (1938-2020) ini merupakan yang kedua kali. Yang pertama digelar pada awal tahun ini, Jumat (6/1/2023).
Kegiatan yang kontinu itu diharapkan menjadi arena berkreatifitas di tengah keterbatasan ruang kreatif di Bandung Timur.
Kawasan Bandung Timur adalah area yang sawah-sawahnya sejak 1976 bersalin rupa menjadi bangunan-bangunan industri (Perubahan Sosial pada Masyarakat Rancaekek 1980-2015, 2018) dan kini air sungainya yang jernih berganti aliran limbah.
Kondisi ini tentu membawa dampak sosial terhadap masyarakatnya. Perubahan kepada hal positif seperti terbukanya kesempatan kerja memang bagus, tetapi dampak lain seperti merebaknya kriminalitas dan orang-orang menjadi "mesin" perlu diantisipasi.
Nundang menilai lukisan dapat menjadi sarana untuk mendidik masyarakat agar mampu berdialog. Paling tidak ketika masyarakat menyaksikan sebuah lukisan, mereka akan berdialog dengan diri sendiri untuk kemudian mendialogkannya kembali dengan orang lain.
"Perihal perliaku membuang sampah sembarangan, atau tindak berbahasa yang kasar, itu juga hal perlu disikapi secara serius. Lukisan adalah alternatif yang dapat mengembalikan kesadaran orang untuk berperilaku baik," katanya.
Agenda melukis bulanan itu akan terus berlanjut. Lalu pada setiap enam bulan sekali diadakan pameran untuk memajang lukisan-lukisan itu.
Jika sedikitnya ada lima orang pelukis yang konsisten setiap bulan menghasilkan satu karya, maka dalam enam bulan akan ada tiga puluh lukisan.
Ruang pameran yang telah disebut-sebut dalam konsep di antaranya adalah lantai paling atas bangunan Pasar Cicalengka yang saat ini kios-kiosnya kosong. Kios-kios itu akan dimanfaatkan untuk ruang pameran.
Orang-orang yang hadir pada acara melukis di teras rumah Nundang itu lintas komunitas.
Selain yang betul-betul berminat terhadap proses melukis, orang-orang juga berasal dari komunitas pegiat kopi, pegiat fotografi, dan pegiat literasi.
Nundang berharap dengan himpunan lintas komunitas ini, gaung geliat kesenian di Bandung Timur akan semakin menguat. Dengan itu pula apresiasi warganya terhadap kehidupan berkesenian akan bermunculan.(*)
Load more