Belajar Dari Ira Puspadewi, Mengkaji Ulang Titik Buta Hukum Tipikor di BUMN
- Reno Ensir-Antara
Oleh: Muhsin Budiono, Praktisi Pemerhati BUMN
Coba bayangkan, Anda adalah putra terbaik bangsa yang mendapat amanah sebagai Direktur Utama BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Di meja Anda ada proposal investasi bernilai triliunan rupiah. Risikonya tinggi, tapi potensinya bisa melipatgandakan keuntungan perusahaan yang Anda pimpin.
Anda paham, keputusan ini bisa membuat Anda dikenang sebagai pahlawan, atau justru sebagai tersangka korupsi.
Inilah dilema yang meracuni BUMN kita.
Dan kasus Ira Puspadewi (Mantan Dirut ASDP) yang sedang hangat diperbincangkan adalah representasi sempurna dari dilema itu.
Ira divonis bersalah karena merugikan negara Rp1,25 triliun. Namun, perusahaan yang ia pimpin lantas meraup untung Rp637 miliar setahun setelah akuisisi.
Ira sendiri tak mengambil untung pribadi. Tak ada bukti aliran dana ke rekeningnya dan tak ada mens rea.
Ini bukan hanya ketidakadilan. Ini adalah kegagalan sistem hukum kita membedakan antara risiko bisnis dan kejahatan.
Memaknai Rehabilitasi
Setelah polemik hukum dan persidangan yang panjang, Presiden Prabowo akhirnya memberikan rehabilitasi kepada Ira dan dua terdakwa lain dalam kasus ASDP (Yusuf Hadi dan Harry Adhi).
Keputusan yang diambil pada Selasa (25/11/2025) lalu persis seperti langkah yang pernah diambil untuk kasus Tom Lembong.
Tindakan presiden ini, yang merupakan kewenangan konstitusional, secara politik adalah penegasan tertinggi bahwa sistem hukum (UU Tipikor) telah gagal membedakan antara kelalaian bisnis dan kejahatan yang disengaja.
Rehabilitasi ini bukan pembenaran atas prosedur yang sempurna, melainkan pengakuan bahwa Direksi BUMN tersebut tak pantas menyandang status koruptor karena tak ada niat jahat.
Angka Kerugian Spekulatif
Masalahnya terletak pada angka. Aparat Penegak Hukum (APH) berpegangan pada kerugian Rp1,25 triliun. Tapi, angka itu adalah hasil dari penghitungan yang tidak utuh.
Kritik Kerasnya: Angka itu opini, bukan fakta.
Hukum kita memakai delik materiil. Harus ada akibat (kerugian) dahulu. Karena APH wajib membuktikan kerugian, mereka memaksakan angka itu muncul, meski harus memakai metode spekulatif.
Ini yang membuat APH jadi "terlalu kuat". Karena harus ada kerugian, mereka wajib mencari ahli yang beropini ada kerugian. Niat jahat (mens rea) jadi nomor dua.
Pejabat bisa dikriminalisasi hanya karena melanggar prosedur minor dan ada opini angka rugi dari ahli.
Contoh paling jelas: Suap. Di banyak negara, suap adalah delik formil. Begitu pejabat terbukti menerima pemberian pribadi, selesai. Pidana.
Tak perlu repot membuktikan motif atau tujuannya. Di sini, motif dan kerugian masih dikejar.
Pada kasus korupsi tata kelola Timah yang menunjukkan kerugian Rp300 Triliun didominasi kerugian potensi kerusakan ekologis puluhan tahun kedepan yang belum terjadi (potensial loss and unrealized loss).
Dalam kasus Ira juga serupa. Yang diperkarakan cenderung pada potential loss. Celakanya, Ira bukan satu-satunya.
Kasusnya punya kembaran: Karen Agustiawan (risiko investasi migas) dan Tom Lembong (kriminalisasi kebijakan).
Ketika APH menggunakan angka hipotetis -seperti biaya pemulihan ekologis 50 tahun kedepan (opportunity cost).
Atau di kasus ASDP, kerugian Rp1,25 Triliun berasal dari selisih nilai wajar (yang diperdebatkan) dan harga beli, maka pada dasarnya APH sedang mengkriminalisasi spekulasi.
Ini yang membuat Direksi BUMN takut; mereka dihukum bukan karena mencuri, tapi karena risiko yang mereka ambil dinilai buruk oleh ahli yang beropini. Dan anehnya yang disebut ahli itu bisa siapa saja.
Di kasus Ira dosen perkapalan didapuk jadi ahli menghitung selisih kemahalan harga kapal bekas dengan mengesampingkan nilai keekonomian, izin trayek, dan lain-lain.
Kalau menghitung kapal bekas yang dipandang APH seperti besi tua, tentunya Haji Sukri pengepul besi bekas asal Madura lebih layak menggantikan sang dosen.
Bukankah memenjarakan orang berdasarkan hitungan hipotesis dapat melanggar Asas Kepastian Hukum (Lex Certa)?
Hukum kita barangkali perlu meniru Amerika Serikat. Mereka pakai delik formil untuk korupsi.
APH fokus pada niat jahat (scheme to defraud). Kerugian tak harus terjadi. Cukup buktikan niat curang, selesai. Vonis bisa dijatuhkan.
Atau berkiblat ke Jerman yang hanya mengakui kerugian finansial aktual yang terukur. Risiko yang gagal, diselesaikan di luar hukum pidana.
Meski pakai delik materiil, Jerman cuma mengakui kerugian finansial yang nyata-nyata hilang. Kerugian spekulatif, buang jauh-jauh.
Indonesia? Kita mengambil yang terburuk. Kita persoalkan kerugian, tapi angkanya diambil yang paling spekulatif dan hitungan paling tidak pasti. Potential loss dan unrealized loss.
Inilah yang mematikan Business Judgement Rule (BJR). Direksi BUMN yang berani ambil risiko, tapi kesandung sial, langsung terancam penjara.
Jika kita tak mengubah pola pikir ini, Direksi BUMN akan selalu memilih jalan paling aman. Tak ada risiko. Tak ada inovasi. Dan kita, negara ini, yang rugi triliunan karena kehilangan momentum maju.
Sisi Positif-Negatif Rehabilitasi
Tindakan presiden memberikan rehabilitasi terhadap vonis yang sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap) adalah isu yang sangat sensitif dan dapat dilihat dari dua sisi.
Pertama, sisi negatif. Pemberian rehabilitasi dapat dilihat sebagai intervensi politik terhadap proses hukum yang sudah berjalan.
Rehabilitasi bisa dianggap melemahkan wibawa Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan Tipikor. Karena vonis yang sudah melalui proses panjang tiba-tiba "dibatalkan" oleh keputusan politik.
Rehabilitasi juga dapat mencerminkan ketidakpastian hukum. Ia menciptakan preseden bahwa putusan pengadilan (khususnya bagi pejabat tinggi BUMN) tidak bersifat final, melainkan dapat diubah oleh kekuasaan eksekutif.
Kedua, sisi positif. Rehabilitasi dapat dipandang sebagai tindakan korektif terhadap kegagalan legislasi dan yudikasi.
Dalam konteks ini rehabilitasi merupakan pengakuan eksplisit dari Kepala Negara bahwa dalam kasus-kasus tertentu, UU Tipikor dan penafsirannya oleh pengadilan gagal membedakan antara risiko bisnis dan korupsi.
Ini adalah bentuk perlindungan politik terakhir terhadap BJR.
Sisi positif lainnya yaitu mendorong keberanian. Pemberian rehabilitasi mengirimkan sinyal kuat kepada Direksi BUMN lainnya bahwa negara akan membela selama mereka bertindak dengan itikad baik dan tanpa niat jahat.
Sekalipun keputusan mereka berujung pada kerugian. Ini sangat penting untuk memulihkan risk appetite (keberanian mengambil risiko) di BUMN.
Kesimpulannya, rehabilitasi bukan preseden buruk jika dilihat sebagai koreksi politik yang diperlukan atas kekosongan hukum dan kegagalan sistem pengadilan dalam menerapkan BJR.
Namun rehabilitasi jadi preseden buruk jika presiden memberikannya tanpa adanya kesadaran kolektif untuk segera merevisi UU Tipikor agar kasus serupa tak terulang di masa depan.
Mencabut ranjau hukum tipikor BUMN
Kita butuh solusi permanen, bukan intervensi politik. Hukum harus diperbaiki.
Pertama, hentikan perburuan angka spekulatif. Fokus APH harus total pada niat jahat (mens rea).
Kedua, hanya BPK yang berhak menghitung kerugian negara. BPK wajib tunduk pada prinsip kerugian riil yang terverifikasi (realized loss).
Ketiga, perlindungan BJR harus dibuat mutlak. Selama direksi membuktikan adanya Itikad baik, kehati-hatian, tak menerima keuntungan dan tanpa benturan kepentingan, mereka harus dilindungi.
Sudah cukup Direksi BUMN yang memilih main aman dan kehilangan keberanian. Kita tak butuh pemimpin yang kerjanya hanya menanti panggilan KPK.
Pilihannya jelas yakni kemajuan dengan risiko yang terukur, atau stagnasi total karena takut dipidana.
Rehabilitasi hanyalah pemadam kebakaran. Solusi permanennya adalah mencabut "ranjau jebakan" hukum yang dipasang di ruang rapat direksi BUMN.
Disclaimer: Artikel ini telah melalui proses editing yang dipandang perlu sesuai kebijakan redaksi tvOnenews.com. Namun demikian, seluruh isi dan materi artikel opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Load more