Masa Depan Pengelolaan BUMN: Mulai Tafsir Penguasaan Negara Hingga Politik Hukum RUU Danantara
- istimewa
Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia memberikan harapan baru melalui kelahiran “bayi” yang diberi nama Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), atau dikenal dengan Danantara pada tanggal 24 Februari 2025, yang dilahirkan dari “rahim” Undang-undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN (UU BUMN).
Amanat yang diberikan oleh negara kepada Danantara yakni untuk mengelola kekayaan dan aset negara (khususnya BUMN) secara optimal untuk memperkuat ekonomi nasional, melakukan transformasi BUMN menjadi pemimpin kelas dunia, serta membangun Indonesia sebagai negara maju dan sejahtera melalui investasi strategis dan tata kelola yang bersih serta transparan, sebagaimana tertuang pada Pasal 3E ayat (3) UU BUMN.
Karena BUMN yang notabene manifestasi dari Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 memiliki tujuan untuk meningkatkan perekonomian dan memenuhi hajat hidup orang banyak, yang pada akhirnya memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia sebagaimana tujuan negara yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945.
Untuk bisa mencapai tujuan negara itu, maka penting kiranya memperhatikan dan memberikan asupan “gizi” yang sehat sehingga dalam tumbuh kembangnya hingga dewasa kelak, Danantara dapat menjadi sosok yang mumpuni dalam mengelola BUMN yang dapat meningkatkan perekonomian nasional.
Oleh karena itu, masuknya RUU Danantara dalam daftar 67 Rancangan Undang-Undang Program Legislasi Nasional 2026 (RUU Prolegnas 2026) layak disambut positif dalam konteks untuk memberikan asupan “gizi” yang sehat dalam tumbuh kembang Danantara.
Namun, selain RUU Danantara, di dalam daftar RUU Prolegnas 2026 yang telah disepakati oleh DPR, DPD, dan Pemerintah pada tanggal 23 September 2026, yakni terdapat juga RUU Perubahan Keempat UU BUMN.
Salah satu isu strategis dalam RUU Perubahan Keempat UU BUMN tersebut sebagaimana disampaikan oleh Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI pada tanggal 26 September 2025, bahwa nantinya Kementerian BUMN dibubarkan, diganti menjadi Badan Pengaturan BUMN yang memiliki tugas dan fungsi kurang lebih sama, yaitu hanya berperan sebagai regulator.
Masuknya RUU Danantara dan RUU Perubahan Keempat UU BUMN dalam Prolegnas 2026 memantik diskursus yang menarik tentang apakah sebaiknya pengaturan mengenai Danantara dan BUMN dijadikan dalam satu undang-undang saja demi menghindari tumpang tindih dan dualisme tata kelola BUMN ke depannya, agar tidak berdampak terhadap tumbuh kembang Danantara karena asupan “gizi” yang tidak tepat.
Untuk itu, dalam merumuskan asupan “gizi” yang tepat bagi tumbuh kembang Danantara yang berupa produk peraturan perundang-undangan, perlu kiranya melihat di negara lain yang telah berhasil mengelola BUMNnya hingga meningkatkan perekonomian negara, untuk menjadi rujukan dalam pengelolaan BUMN di Indonesia.
Bahkan perlunya memahami konsep penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 secara konstruktif dan objektif, khususnya dalam pengelolaan BUMN yang merupakan pengejawantahan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, hal ini penting agar konsep penguasaan oleh negara tidak dimaknai secara sempit.
Tafsir Penguasaan Negara Dalam Pasal 33 UUD 1945
Konsep penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 lahir dari pemikiran Bung Hatta, yang merupakan cerminan ekonomi kerakyatan yang mengutamakan kesejahteraan sosial dan pemerataan bagi seluruh rakyat.
Bung Hatta dalam ceramahnya pada Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD 1945 yang berlangsung tanggal 6 – 7 Oktober 1977 di Gelanggang Mahasiswa Sumantri Brodjonegoro, Jakarta, menyampaikan bahwa, frasa “dikuasai oleh negara” pada Pasal 33 ayat (2) UUD 45 tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha atau ondernemer.
Lebih tepatnya bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula “penghisapan” orang yang lemah oleh orang yang bermodal.
Politik ekonomi Pasal 33 UUD 45 disebut Bung Hatta sebgai sistem Ekonomi Pancasila, yang dalam implementasinya disokong oleh tiga sektor, yaitu; sektor Koperasi sebagai wadah perekonomian rakyat, sektor usaha negara sebagai pelaku untuk mengelola ayat (2) dan ayat (3), dan sektor usaha swasta sebagai pelaku ketiga di samping sektor koperasi dan sektor usaha negara.
Tafsir konsep penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 pun mengalami perkembangan hingga saat ini sebagaimana dijelaskan dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi, yang merupakan the guardian of constitution (penjaga konstitusi) sebagai satu-satunya lembaga di Indonesia yang memiliki kewenangan untuk untuk menafsirkan pengertian dan tujuan pasal-pasal dalam UUD 1945 melalui putusan-putusannya.
Tafsir dikuasai oleh negara mulanya muncul dalam Putusan MK Nomor: 001-021-022/PUU-I/2003. Dalam putusan tersebut, MK memberikan argumentasi bahwa pengertian frasa dikuasai oleh negara adalah konsep hukum publik yang berarti rakyat sebagai pemiliknya.
Lalu rakyat secara kolektif dikonstruksikan dalam Pasal 33 UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan pengaturan (regelendaad), pengurusan (bestuurdaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mahkamah Konstitusi selanjutnya memberikan kriteria terhadap “kemakmuran rakyat” yang menjadi tujuan penguasaan oleh negara dalam Putusan Nomor: 3/PUU-VIII/2010.
Dalam putusan tersebut diberikan empat kriteria, yaitu: 1) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, 2) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, 3) tingkat partisipasi rakyat, dan 4) penghormatan terhadap hak rakyat. Keempat kriteria tersebut merupakan antisipasi yang disiapkan oleh MK apabila ada upaya penegasian terhadap tujuan “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Perkembangan tafsir penguasaan oleh negara berikutnya muncul dalam Putusan MK Nomor: 36/PUU-X/2012. Dalam putusan tersebut MK merumuskan bahwa jika keempat bentuk penguasaan oleh negara tidak dimaknai satu kesatuan tindakan, maka harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektivitasnya.
Tingkat pertama adalah melakukan pengelolaan langsung. Tingkat kedua adalah negara melakukan pengurusan, dan tingkat ketiga bentuk penguasaan negara adalah dengan melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan.
Perkembangan tafsir dalam putusan-putusan tersebut merupakan upaya MK untuk memberikan acuan dalam memaknai konsep penguasaan oleh negara pada Pasal 33 UUD 1945 secara komprehensif, sehingga tujuan penguasaan oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat tercapai
Pengelolaan BUMN di Berbagai Negara
Satu di antara BUMN di Kawasan Asia Tenggara adalah Temasek milik negara Singapura. Temasek merupakan sebuah perusahaan yang didaftarkan sebagai badan hukum yang beroperasi dan berdiri berdasarkan Undang-undang Perusahaan Singapura pada tanggal 25 Juni 1974, yang seluruh sahamnya dimiliki oleh pemerintah Singapura melalui Menteri Keuangan.
Dengan statusnya sebagai perusahaan yang berbadan hukum dan menjadi holding BUMN, Temasek bukanlah lembaga pemerintah ataupun Sovereign Wealth Fund (SWF).
Dalam pengelolaannya, Menteri Keuangan fokus pada pembuatan kebijakan, sedangkan untuk aktivitas bisnis termasuk pengelolaan terhadap anak usaha dilakukan sepenuhnya oleh Dewan Direksi.
Namun, pada aktivitas tertentu harus mendapatkan persetujuan dari Presiden seperti transaksi yang dapat berdampak terhadap penurunan cadangan kas Temasek.
Sedangkan di India, pendirian BUMN diatur oleh Undang-undang Perusahaan 2013. Undang-undang ini menetapkan kerangka peraturan dan kepatuhan yang harus dipatuhi oleh perusahaan dibentuk dan beroperasi di India, baik perusahaan swasta maupun termasuk BUMN.
Adapun khusus untuk BUMN, pemegang saham dan pengelolaannya berada di bawah Kementerian Keuangan, yakni pada Departemen BUMN.
Kementerian Keuangan membagi BUMN di India menjadi tiga yaitu Maharatna, Navaratna, dan Miniratna, berdasarkan pencapaian kinerja dan efisiensi yang telah dilakukan oleh tiap-tiap BUMN.
Pengelolaan BUMN di India yang berada di bawah Kementerian Keuangan dilakukan untuk memudahkan dalam pemantauan yang efisien terhadap belanja modal, monetisasi aset, dan kesehatan keuangan BUMN.
Selain itu, peran Departemen BUMN dalam pengelolaan BUMN yaitu menyusun langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja, pengembangan bisnis, memberikan saran terkait dengan restrukturisasi atau penutupan, dan pengelolaan pekerja BUMN di masa kerja maupun setelah pensiun.
Sama halnya dengan Singapura dan India, saham BUMN di negara Australia dimiliki sepenuhnya oleh Pemerintah Persemakmuran melalui Kementerian Keuangan atau Pemerintah Negara Bagian melalui Kementerian Keuangan Negara Bagian.
Sebuah badan usaha di Australia ditetapkan sebagai BUMN berdasarkan Undang-undang Tata Kelola, Kinerja, Akuntabilitas Publik tahun 2013.
Di dalam undang-undang tersebut diatur mengenai pedoman pengawasan oleh pemerintah sebagai pemegang saham dan pedoman bagi Dewan Direksi dalam menyusun dan melakukan rencana kerja dalam pengelolaan BUMN.
Satu lagi negara yang layak menjadi rujukan dalam pengelolaan BUMN adalah Norwegia, negara dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Transparency International pada Februari 2025 menunjukkan skor sebesar 81 pada skala 0-100, menjadikannya salah satu negara dengan tingkat korupsi sektor publik terendah di dunia dan menempatkannya di peringkat ke-5 dari 180 negara.
Skor tinggi ini mencerminkan persepsi publik tentang tingkat penyuapan, pengalihan dana publik, dan konflik kepentingan yang dianggap paling rendah dalam pemerintahan.
Pendirian BUMN di Norwegia diatur oleh Lov om aksjeselskaper (Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 4 Tahun 2004). Saham BUMN di Norwegia ada yang dimiliki secara penuh oleh pemerintah melalui tiap-tiap kementerian yang sesuai dengan jenis usaha dari BUMN masing-masing.
Namun ada juga BUMN yang sahamnya dimiliki oleh Government Pension Fund of Norway (GPFG), salah satu SWF terbesar yang dikelola oleh Norges Bank Investment Management (NBIM).
NBIM beroperasi di bawah kendali dari Kementerian Keuangan Norwegia. Dalam operasionalnya, GPFG tidak hanya memiliki saham pada BUMN, tapi juga memilikiBaik BUMN yang sahamnya dimiliki oleh pemerintah maupun yang dimiliki oleh SWF, pengelolaan bisnis BUMN dilakukan sepenuhnya oleh Dewan Direksi masing-masing BUMN, sedangkan pemerintah maupun SWF sebagai pembuat kebijakan dan pengawasan.
Sampai di sini, perlu dicatat bahwa Government Pension Fund of Norway sebagai SWF tidak hanya memiliki saham BUMN, namun juga memiliki saham pada perusahaan swasta di dalam dan luar Norwegia.
Politik Hukum RUU Danantara
Melihat pengelolaan BUMN dari negara Singapura, India, Australia, dan Norwegia di atas dapat ditarik kesimpulan, yaitu 1) pengaturan mengenai pendirian dan pengelolaan BUMN diatur hanya dalam satu undang-undang, dan 2) tidak adanya struktur Kementerian BUMN sebagai pemegang saham melainkan ada pada Kementerian Keuangan. Sehingga bukan suatu hal yang tabu apabila politik hukum RUU Danantara kelak merujuk sebagaimana telah diterapkan di keempat negara tersebut, yang tentunya disesuaikan dengan konsep dan tujuan perekonomian negara Indonesia dalam UUD 1945.
Menurut penulis ada dua isu strategis yang layak menjadi materi muatan dalam RUU Danantara. Pertama, soal pengaturan mengenai Danantara dan BUMN cukup diatur dalam satu undang-undang saja.
Alasan ini beranjak dari pengaturan (bestuursdaad) yang merupakan salah satu bentuk penguasaan oleh negara sebagaimana Pasal 33 UUD 1945.
Selain itu, efektivitas sebuah undang-undang bukan dinilai dari kuantitasnya, melainkan penekanan pada kualitas dan kesesuaian dengan nilai-nilai Pancasila sebagai landasan fundamental Sistem Ekonomi Pancasila yang dianut Indonesia.
Pentingnya faktor kualitas dibanding kuantitas karena sebuah undang-undang dapat berlaku efektif apabila materi muatannya jelas, logis, dan tidak tumpeng tindih (overlapping) dalam implementasinya.
Kedua, soal peran Kementerian BUMN yang akan digantikan oleh Badan Pengaturan BUMN. Dengan lahirnya Danantara, maka sudah selayaknya tidak diperlukan lagi peran Badan Pengaturan BUMN sebagai regulator maupun pemegang saham seri A dalam tata kelola BUMN ke depan.
Apabila mengadopsi skema yang dilakukan oleh keempat negara di atas, peran sebagai regulator dan pemegang saham seri A dapat dilakukan oleh Kementerian Keuangan.
Ratio legis ini didasari oleh tugas yang dimiliki Kementerian Keuangan yaitu sebagai pelaksanaan kebijakan fiskal, pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemungutan pendapatan negara, serta pengelolaan aset dan utang negara, yang kesemuanya bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Maka, dengan tugas-tugas itu, secara logis Kementerian Keuangan juga dapat menjadi representasi penguasaan negara pada BUMN yakni sebagai pemegang saham seri A.
Meskipun naskah akademis RUU Danantara belum dapat dilihat hilalnya hingga saat ini, namun kedua isu strategis yang telah dikemukakan di atas dapat menjadi rekomendasi bagi pembentuk undang-undang sebagai materi muatan dalam RUU Danantara, serta wujud meaningful participation menyambut momentum tumbuh kembang Danantara dengan asupan “gizi” yang sehat dan tepat sebagai pengelola BUMN di Indonesia.
Penulis: Ferdiyan Ganesha, S.H., M.H., C.L.A. (Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Riau)
Disclaimer: Artikel ini telah melalui proses editing yang dipandang perlu sesuai kebijakan redaksi tvOnenews.com. Namun demikian, seluruh isi dan materi artikel opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Load more