Transisi Pekerja Informal Menuju Formal: Jalan Menuju Kesejahteraan dan Perlindungan Sosial yang Inklusif
- Istimewa
Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, sektor informal memainkan peranan besar dalam struktur ketenagakerjaan.
Menurut data BPS, lebih dari separuh pekerja Indonesia berada di sektor informal—mulai dari pedagang kaki lima, buruh harian lepas, pekerja rumah tangga, hingga pekerja lepas di sektor jasa.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan proporsi pekerja informal di Indonesia pada Februari 2025 menjadi sekitar 86,58 juta orang atau 59,40 persen dari total penduduk bekerja.
Meskipun sektor ini menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan penghidupan bagi jutaan keluarga, status informal membuat para pekerja berada dalam posisi sangat rentan.
Mereka kerap bekerja tanpa kontrak, tanpa perlindungan hukum, dan tanpa akses pada jaminan sosial.
Dalam konteks ini, transformasi pekerja informal menuju sektor formal menjadi agenda mendesak, bukan hanya untuk meningkatkan kesejahteraan individu, tetapi juga untuk memperkuat ketahanan sosial dan ekonomi nasional.
Transformasi ini sejalan dengan prinsip-prinsip yang ditegaskan dalam ILO Recommendation Nomor 204 tentang transisi dari ekonomi informal ke formal.
Rekomendasi ini menekankan bahwa proses formalisasi harus bersifat inklusif, berorientasi pada hak, serta mempertimbangkan dimensi sosial, ekonomi, dan hukum secara terpadu.
Transisi bukan semata proses legalisasi administratif, melainkan juga transformasi struktural yang melibatkan penguatan kapasitas pekerja, pemberdayaan usaha kecil, serta perlindungan atas hak-hak dasar mereka sebagai bagian dari sistem ketenagakerjaan yang adil.
Ketimpangan dan Kerentanan di Sektor Informal
Mengacu pada definisi yang disepakati dalam Konferensi Statistik Buruh Internasional ke-17, pekerja informal mencakup semua individu yang bekerja di unit usaha tidak terdaftar atau yang hubungan kerjanya, baik secara hukum maupun praktik, tidak tercakup dalam regulasi formal ketenagakerjaan, perpajakan, dan jaminan sosial.
Ini mencakup pekerja mandiri tanpa legalitas usaha. Lalu, buruh musiman, harian lepas, atau kontrak tak tertulis serta pekerja rumah tangga tanpa perjanjian kerja.
Mereka tidak dilindungi oleh sistem ketenagakerjaan formal dan berisiko tinggi mengalami kemiskinan, diskriminasi, atau ketidakamanan penghasilan.
Pekerja informal seringkali bekerja tanpa kontrak kerja yang jelas, upah yang tidak tetap, serta tanpa akses atau akses yang terbatas terhadap jaminan sosial seperti asuransi kesehatan, pensiun, atau perlindungan kecelakaan kerja.
Mereka juga tidak terlindungi oleh hukum ketenagakerjaan, sehingga rentan terhadap eksploitasi, pemutusan hubungan kerja sepihak (seperti ojek online dan pekerja platform lainnya), dan jam kerja berlebih tanpa kompensasi.
Dalam situasi krisis seperti pandemi COVID-19, kelompok ini menjadi yang paling terdampak dan paling lambat pulih akibat tidak adanya jaring pengaman sosial yang memadai.
Mengapa Transformasi Menuju Formalisasi Diperlukan?
Transformasi pekerja informal menjadi formal tidak hanya soal legalitas administratif seperti izin usaha atau kewajiban perpajakan.
Lebih dari itu, formalisasi harus dilihat sebagai proses pemberdayaan. Dengan menjadi bagian dari sistem formal, pekerja memiliki akses terhadap upah minimum yang dijamin undang-undang dan jaminan sosial (kesehatan, pensiun, kecelakaan kerja, dan kematian).
Lalu, hak untuk berserikat dan berunding secara kolektif, pelatihan keterampilan dan pengembangan karier serta stabilitas pendapatan dan peluang mobilitas sosial.
Selain memberikan perlindungan bagi pekerja, formalisasi juga memperkuat sistem jaminan sosial nasional dengan memperluas basis peserta dan kontribusi.
Bagaimana Pekerja Informal Bisa Beralih Menjadi Pekerja Formal?
Terdapat berbagai jalur yang dapat ditempuh untuk mendorong transformasi pekerja informal menjadi formal, tergantung pada jenis pekerjaan serta kondisi sosial dan wilayah tempat mereka berada.
Strateginya pun beragam, dan berikut ini beberapa contoh pendekatan yang bisa diterapkan:
1. Pendaftaran Usaha Mikro dan Kecil (UMK)
Banyak pekerja informal adalah pelaku usaha mikro. Dengan mendaftarkan usahanya melalui Online Single Submission (OSS) atau melalui Dinas Koperasi dan UKM setempat, mereka dapat memperoleh legalitas, akses pembiayaan, pelatihan, serta terhubung ke sistem jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan.
Contoh: Seorang penjual gorengan keliling di Yogyakarta mengikuti program pembinaan UMKM dari pemerintah daerah.
Ia dibantu mengurus Nomor Induk Berusaha (NIB) dan didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan skema BPU (Bukan Penerima Upah).
Sekarang ia juga dapat mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari bank.
2. Koperasi atau Kemitraan Berbasis Komunitas
Pekerja informal dapat bergabung dalam koperasi atau komunitas profesi, yang kemudian difasilitasi untuk kolektif mendaftar sebagai entitas hukum dan mengakses layanan formal.
Contoh: Komunitas pengemudi ojek online membentuk koperasi transportasi yang kemudian bekerja sama dengan pemerintah kota untuk memperoleh pelatihan keselamatan kerja dan didaftarkan sebagai peserta jaminan sosial.
3. Pekerja Rumah Tangga dan Skema Formalisasi Khusus
Pemerintah dapat menyediakan jalur formalisasi khusus bagi sektor-sektor tertentu seperti pekerja rumah tangga, dengan pengakuan hukum, perjanjian kerja minimum, dan kewajiban pemberi kerja mendaftarkan pekerja ke jaminan sosial.
Contoh: Di Jakarta, beberapa LSM bekerja sama dengan Dinas Tenaga Kerja untuk membuat perjanjian kerja standar bagi pekerja rumah tangga, serta mendorong majikan mendaftarkan mereka ke BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.
4. Pelatihan Vokasi dan Penempatan Kerja Formal
Pemerintah dan lembaga pelatihan kerja dapat menjadi jembatan penting dalam proses transisi pekerja informal ke formal.
Melalui pelatihan vokasi, pekerja informal dapat memperoleh sertifikat keterampilan yang dibutuhkan pasar kerja formal.
Contoh: Seorang buruh bangunan harian di mengikuti pelatihan keterampilan listrik bangunan yang diselenggarakan oleh Balai Latihan Kerja (BLK).
Setelah lulus dan mendapatkan sertifikat kompetensi, ia direkrut oleh perusahaan kontraktor sebagai teknisi listrik dengan kontrak kerja formal, gaji tetap, dan kepesertaan jaminan sosial.
Dampak Positif terhadap Kesejahteraan dan Sistem Jaminan Sosial
Transformasi menuju formalisasi berdampak langsung terhadap peningkatan kualitas hidup pekerja.
Dengan perlindungan sosial yang memadai, mereka lebih terlindungi dari risiko kerja, sakit, atau hari tua tanpa pendapatan.
Keberadaan kontrak kerja juga memberikan rasa aman dan kepastian hukum.
Selain itu, partisipasi dalam sistem formal membuka akses ke pelatihan keterampilan, pinjaman produktif, serta kesempatan meningkatkan produktivitas.
Dari sisi sistem jaminan sosial, peningkatan jumlah peserta dari sektor informal akan memperkuat keberlanjutan fiskal dan daya jangkau manfaat.
Dengan cakupan yang lebih luas, pemerintah dapat mengurangi ketergantungan pada bansos jangka pendek dan beralih pada model perlindungan sosial universal yang inklusif dan adaptif.
Kesimpulannya, transformasi pekerja informal ke dalam sektor formal adalah agenda strategis untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Langkah ini tidak hanya melindungi hak-hak pekerja, tetapi juga memperkuat fondasi ekonomi nasional dan sistem jaminan sosial.
Pemerintah, pengusaha, dan pekerja perlu bersinergi menciptakan mekanisme formalisasi yang mudah, inklusif, dan memberikan insentif nyata.
Hanya dengan itu, pekerja informal bisa keluar dari siklus kerentanan dan masuk ke dalam ekosistem kerja yang produktif dan terlindungi.
Penulis: Praktisi Jaminan Sosial Mohamad Rhesa Adisty, S.Hum., M.Si., LL.M.
Disclaimer: Artikel ini telah melalui proses editing yang dipandang perlu sesuai kebijakan redaksi tvOnenews.com. Namun demikian, seluruh isi dan materi artikel opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Load more