Pertamina di Persimpangan: Kegagalan Restrukturisasi dan Suara Pekerja yang Benar Terbukti
- Istimewa
Oleh:
Muhsin B. Nurhadi
Kepala Bidang Hubungan Antar Lembaga, Media dan Komunikasi FSPPB (Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu)
Kabar mengenai rencana reintegrasi sebagian bisnis Pertamina, khususnya di sektor downstream, adalah alarm keras yang seharusnya menggema di seluruh telinga pemangku kepentingan.
Tak sampai lima tahun lalu, BUMN energi kebanggaan kita ini digadang-gadang akan mencapai efisiensi dan kelincahan luar biasa melalui struktur holding-subholding (HSH). Sebuah transformasi besar yang digembar-gemborkan sebagai solusi untuk meningkatkan daya saing global.
Namun kini, narasi itu berbalik 180 derajat. Manajemen Pertamina mengindikasikan bahwa model HSH justru tak efisien dan bermasalah, sebuah pengakuan yang terlambat namun krusial.
Ironisnya, konsultan yang kembali digandeng untuk "mengoreksi" kondisi ini adalah PricewaterhouseCoopers (PwC). Firma sama yang menjadi arsitek rekomendasi HSH Pertamina di tahun 2020 lalu.
Ini bukan sekadar keputusan bisnis biasa, tapi dilema korporasi yang menimbulkan pertanyaan mendalam tentang konsistensi, akuntabilitas, dan penggunaan anggaran perusahaan.
Plin-plan Strategi dan Pemborosan Biaya
- Antara
Keputusan manajemen Pertamina untuk memecah diri menjadi holding dan enam subholding pada 2020 didasari janji manis peningkatan efisiensi operasional, kemudahan akses pendanaan yang lebih luas bagi masing-masing subholding (termasuk potensi IPO), dan peningkatan valuasi perusahaan secara keseluruhan.
Argumennya adalah agar setiap entitas lebih fokus pada inti bisnisnya dan lebih agile menghadapi tantangan pasar global. Namun, jika kini based on evaluasi internal menunjukkan bahwa model HSH justru tak efisien dan bahkan menciptakan masalah baru, artinya janji-janji tersebut palsu.
Ini lantas menimbulkan pertanyaan fundamental yang harus dijawab: Mengapa keputusan strategis sebesar itu, yang melibatkan restrukturisasi masif, perubahan legal, penataan aset, perombakan SDM, dan memakan biaya yang tak sedikit, kini harus berbalik arah?.
Proses pembentukan HSH telah menyedot sumber daya finansial, waktu, dan energi yang luar biasa. Jika sekarang harus dibongkar, artinya terdapat pemborosan biaya yang sangat besar, baik untuk konsultasi awal, implementasi, dan kini biaya pengembalian ke bentuk semula.
Bukankah ini cerminan strategi plin-plan dan kurang matang, yang pada akhirnya merugikan Pertamina dan negara?.
Reputasi PwC dan Penunjukan Dua Konsultan
Pemilihan kembali PwC sebagai konsultan dalam proyek "optimasi downstream" adalah puncak ironi.
Bagaimana bisa sebuah firma konsultan kelas dunia yang merekomendasikan satu arah strategis radikal (HSH Pertamina) kini dipercaya lagi merekomendasikan arah yang kontradiktif (Reintegrasi Pertamina) untuk klien yang sama?
Ini tak sekadar pergantian strategi, melainkan kontradiksi langsung yang mempertaruhkan reputasi profesional PwC. Kualitas analisis dan rekomendasi sebelumnya patut dipertanyakan serius.
Akankah PwC mengakui adanya kesalahan analisis dalam rekomendasi awal mereka di tahun 2020?. Atau justru berdalih bahwa kegagalan HSH terletak pada proses implementasi dipihak Pertamina itu sendiri?.
Keanehan semakin menjadi tatkala muncul kabar bahwa tak hanya PwC yang ditunjuk, tapi ada juga McKinsey. Ini otomatis memunculkan pertanyaan: Mengapa terdapat dua konsultan berbeda yang dikontrak melakukan kajian yang (diduga) serupa di area yang sama?
Apakah penunjukan mereka merupakan upaya membandingkan hasil, mencari legitimasi ganda, atau justru mencerminkan perbedaan visi di antara direksi Pertamina?
Jika benar terjadi, maka integritas penunjukan konsultan-konsultan tersebut patut ditelusuri lebih lanjut melalui transparansi publik agar tak mengisyaratkan ketidakkompakan di tataran pejabat C-level Pertamina, yang tentu akan berdampak negatif pada implementasi strategi apapun ke depannya. Dalam situasi ini pula, kredibilitas PwC dan McKinsey, serta BOD Pertamina sedang dipertaruhkan.
Suara Pekerja: FSPPB dan Kekhawatiran yang Terbukti Benar
- Ammar Ramzi
Fakta ini semakin pahit dan seharusnya menjadi pelajaran berharga: Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), sejak awal tahun 2020 telah konsisten dan lantang menentang pembentukan HSH.
Bahkan hingga mengajukan gugatan hukum ke pengadilan dengan argumen yang kini terbukti sangat relevan, yaitu:
1. Ancaman Kedaulatan Energi
FSPPB selalu menekankan bahwa holdingisasi dan potensi IPO anak-perusahaan dapat melemahkan kendali negara atas aset strategis migas dan mengancam kedaulatan energi nasional. Ini sejalan dengan amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan (3).
Kekhawatiran ini bukan isapan jempol, namun terbukti dengan masuknya saham pihak asing, seperti Nippon Yusen Kabushiki Kaisha (NYK) di anak usaha Pertamina International Shipping pada tahun 2022.
2. Potensi Privatisasi Terselubung
Struktur subholding, menurut FSPPB, membuka celah privatisasi aset strategis yang seharusnya tetap di bawah kendali penuh negara.
3. Inefisiensi Bisnis dan Tumpang Tindih Fungsi
FSPPB telah memprediksi bahwa pembentukan subholding justru akan menciptakan birokrasi baru, duplikasi fungsi, dan inefisiensi, bukan malah efisiensi seperti yang dijanjikan. Kini, pengakuan manajemen Pertamina sendiri membenarkan kekhawatiran ini.
4. Transfer Pricing
Pemisahan entitas menjadi subholding juga akan menimbulkan isu transfer pricing kompleks antar subholding yang merugikan kinerja keseluruhan maupun potensi laba perusahaan.
Kini apa lacur, suara pekerja yang seharusnya menjadi salah satu pilar utama dalam pengambilan keputusan strategis kala itu seolah diabaikan. Manajemen bahkan menggalang opini para pakar dan mass media guna menentang serta mendiskreditkan suara pekerja.
Kini, kekhawatiran dan prediksi FSPPB terbukti benar. Saatnya organisasi pekerja kembali menegaskan posisinya dan menuntut pertanggungjawaban serius dari Direksi Pertamina (yang telah mengaminkan plus memuluskan HSH) dan juga Kementerian BUMN sebagai pemegang saham Pertamina.
Reintegrasi Pertamina dan Penegakan Akuntabilitas
- Antara
Carut-marut strategi restrukturisasi Pertamina menuntut solusi berani dan fundamental. Pertamina harus kembali ke bentuk yang terintegrasi penuh dari hulu hingga hilir. Meski akan memerlukan effort besar, biaya tak sedikit, dan potensi resistensi internal maupun eksternal, namun langkah reintegrasi holistik Pertamina merupakan keniscayaan untuk menyelamatkannya dari kerugian lebih besar di masa mendatang.
Mengembalikan Pertamina sebagai entitas solid dan terintegrasi adalah cara paling efektif memastikan optimalisasi seluruh rantai operasional dan bisnis perusahaan.
Langkah ini akan menghilangkan hambatan birokrasi antar-subholding yang tumpang tindih, memperkuat sinergi vertikal, dan memastikan setiap keputusan bisnis selaras dengan kepentingan nasional dan kedaulatan energi.
Terlebih belakangan muncul kabar publik yang mengaitkan sejumlah keputusan strategis kepemimpinan Direksi Pertamina sebelumnya dengan kecenderungan potensi audit investigatif. Jika benar terjadi, maka hal itu perlu ditindaklanjuti segera oleh lembaga penegak hukum secara akuntabel dan terbuka.
FSPPB juga meminta kepada Pemerintah agar mengubah status Pertamina menjadi Perusahaan Negara (PN) yang terintegrasi dari hulu ke hilir dan langsung berada di bawah kendali Presiden RI, kembali ke UU No. 8 Tahun 1971.
Tujuannya tak lain guna memperjuangkan kepentingan pekerja, menjaga kedaulatan energi nasional, dan memastikan Pertamina berpihak pada kepentingan rakyat Indonesia.
Ini bukan hanya perihal efisiensi operasional, melainkan upaya memastikan Pertamina kembali menjadi benteng kedaulatan energi bangsa, bukan arena eksperimen strategis yang menguras biaya, merusak kinerja profesionalisme dan tata kelola migas nasional.
Manajemen Pertamina saat ini dan Kementerian BUMN mesti bertanggung jawab penuh atas pahitnya keputusan masa lalu. Mengevaluasi secara jujur, dan berani mengambil langkah krusial guna mengembalikan Pertamina ke jalur yang benar.
Pertamina perlu segera keluar dari kebuntuan strategi dan kembali menuju kepada arah kebijakan yang jelas, terukur, dan selaras dengan mandat konstitusi. Bukan yang berujung kepada indikasi kerugian negara.
Disclaimer: Artikel ini telah melalui proses editing yang dipandang perlu sesuai kebijakan redaksi tvOnenews.com. Namun demikian, seluruh isi dan materi artikel opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Load more