SAYA menulis kolom ini dengan sedikit gundah. Beberapa pekan lalu pada Pojok KC saya menulis dengan penuh kebangggaan betapa PP Muhammadiyah, asset bangsa ini tak bisa didoyongkan ke kanan atau ke kiri oleh penguasa dalam hal tawaran untuk ikut mengelola Izin Usaha Pertambangan.
Kukuh dalam pendirian, punya prinsip bagi saya adalah kemewahan saat ini ketika hampir semua ormas atau lembaga kemasyarakatan terserap-- lewat pemberian proyek atau orang orangnya masuk ke lembaga lembaga yang dibentuk negara–masuk ke kekuasaan. Semua itu, bagi saya, karena ketawadhuan yang dicontohkan oleh para pendiri Muhammadiyah, termasuk Kiai Haji Ahmad Dahlan yang mengajarkan kredo dakwah yang paling diingat "Hidup hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup dari Muhammadiyah."
Namun, kabar terbaru akhir pekan lalu, persisnya yang membuat akhir pekan saya jadi masygul. Dalam Konsolidasi Nasional Muhammadiyah di Universitas Aisyiyah Yogyakarta PP Muhammadiyah akhirnya memutuskan untuk menerima izin usaha pertambangan yang diberikan oleh Presiden Jokowi.
Agaknya tak hanya saya yang mencemaskan putusan ini, lini masa di jagat maya sempat diramaikan dengan tagar #dipisahkan qunut, disatukan tambang”. Muhammadiyah akhirnya bersikap sama dengan saudara mudanya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang lebih dahulu mengambil tawaran tersebut. Bahkan telah resmi mengajukan proposal ke Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia.
Bedanya, Muhammadiyah menyatakan menerima tawaran kelola tambang batu bara setelah menyerap aspirasi dari banyak konstituennya. Sekretaris PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti mengaku penerimaan Muhammadiyah pada tawaran konsesi setelah mendengarkan pandangan dari ahli pertambangan, ahli hukum, majelis dan lembaga di lingkungan Pengurus Pusat, termasuk 35 pimpinan wilayah Muhammadiyah se-Indonesia.
Hasil pembahasan dalam Konsolidasi Nasional itu lalu diringkas dalam "Risalah Pleno Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang Pengelolaan Tambang yang Ramah Lingkungan Kesejahteraan Rakyat." Dalam risalah disebutkan sedikitnya delapan poin dalil menerima izin usaha pertambangan. Pertama disebutkan bahwa kekayaan alam adalah anugerah Allah yang manusia sebagai khalifah di muka bumi memiliki kewenangan untuk memanfaatkan alam untuk kemaslahatan bersama.
Pengelolaan usaha pertambangan juga disebut sejalan dengan Anggaran Dasar pasal 7 (1) yang menyebut,"Untuk mencapai maksud dan tujuan, Muhammadiyah melaksanakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar dan tajdid yang diwujudkan dalam segala bidang kehidupan. Ada pula Anggaran Rumah Tangga pasal 3 (8) "Memajukan perekonomian dan kewirausahaan ke arah perbaikan hidup yang berkualitas.
Belum cukup, Risalah juga melampirkan Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah tentang Pengelolaan Pertambangan (at- tadn) sebagai aktivitas mengekstraksi energi dan mineral dari perut bumi (Istikhraj al ma'din min ban al-ar) masuk dalam kategori muamalah atau al-umr al-duny (perkara perkara duniawi) yang hukumnya asalnya adalah boleh (al-ibah) sampai ada dalil, keterangan atau bukti yang menunjukan ia dilarang atau haram.
Tim pengelola pun telah ditunjuk, terdiri atas Muhadjir Effendy (Ketua), Muhammad Sayuti (Sekretaris) dengan anggota Anwar Abbas, Hilman Latief, Agung Danarto, Ahmad Dahlan Rais, Bambang Setiaji, Arif Budimanta, Nurul Yamin dan M Azrul Tanjung.
Demikian, agaknya PP Muhammadiyah sudah merasa siap untuk mengelola konsesi, meski lokasi dan lahan tambang yang akan diberikan. “Belum detail sampai ke sana,” ujar Haedar Nashir, Ketua PP Muhammadiyah.
Padahal, pun bagi orang yang ahli di bidang eksplorasi, mengelola lahan tambang batu bara sejatinya tak semudah yang dibayangkan. Rangkaian kegiatan pertambangan batu bara cukup rumit. Kewajiban pemilik izin usaha pertambangan bukan hanya mencungkil tanah mengambil batu bara, tetapi juga berkaitan dengan studi kelayakan, penjualan, reklamasi tambang hingga menutup kembali lubang galian.
Singkatnya, ini sebuah bisnis yang padat modal, 80 persen modal harus disetor di tahun pertama. Untuk memenuhi kewajiban, minimal menyiapkan modal Rp 70 miliar. Pasalnya harga komoditas batu bara tak selalu stabil. Jika keuangan tak kuat, saat harga jatuh, sementara harus ada kewajiban mereklamasi lahan, pemodal biasanya meninggalkan begitu saja lahan tambang yang akhirnya mengancam keselamatan masyarakat.
Ini yang membuat ribuan konsesi meninggalkan lahan bekas tambang batu bara menciptakan danau danau keruh. Saat berada di dalam pesawat kita dengan mudah melihatnya ketika melintas di wilayah udara Kalimantan Timur. Data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) di Kalimantan Timur masih ada 1,735 lubang bekas tambang yang tidak direklamasi, 349 lubang itu ada di Samarinda. Lubang tambang yang tak direklamasi adalah “kuburan” raksasa bagi anak-anak Kalimantan. Data Jatam juga menyebut ada 40 jiwa tewas di bekas galian batu bara, sebagian besar anak-anak.
Biasanya karena kemampuan pemain baru yang terbatas, akan digandeng mitra (yang bisa jadi pemain lama). Pada akhirnya mitra yang akan menentukan banyak hal, mendominasi operasional tambang tersebut. Alih alih cuan, sangat bisa jadi Izin Usaha Pertambangan akan beralih ke pengelola lama dan ormas mungkin saja akan puas dengan menerima fee saja.
Cuan tambang masih jauh di angan, sementara konflik internal sudah di tangan. Organisasi otonom wanita Muhammadiyah, Aisyiyah bersuara keras menolak keputusan tersebut. Ketua Divisi Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) PP Aisyiyah Hening Parlan menyebut mengelola konsesi tambang sangat berbahaya bagi lingkungan dan masyarakat. “Pernah tidak bapak bapak bicara dengan orang tua yang anaknya tenggelam ke dalam galian bekas tambang?” ujar Hening.
Tokoh sekaliber Amien Rais pun akhirnya ikut bersuara. Pak Amien yang bahasanya selalu artikulatif, logis, karenanya sulit dibantah itu, menyebut ada sesuatu yang berbau amis hampir menjurus busuk dengan tawaran Presiden Jokowi pengelolaan tambang yang diberikan pada ormas keagamaan.
Bagi tokoh reformasi itu tambang bukan soal yang netral, tapi sebuah wilayah abu abu yang lebih banyak kontroversinya. "Ada pertikaian antar bohir, antar makelar. Masak Muhammadiyah masuk ke sana? Muhammadiyah akan tenggelam, ini sebuah jebakan yang manis," ujar Amien Rais dalam sebuah wawancara dengan Media.com.
Saya mafhum atas keberangan Amien Rais. Ia punya hak moral untuk tetap bersuara menjaga Muhammadiyah, ormas yang pernah ia pimpin dalam dua periode kepengurusan, melintasi masa masa sulit ketika persyarikatan kerap dikuyo kuyo penguasa Orde Baru. Harap diingat belum pernah ada dalam sejarah Muhammadiyah, ketuanya dipilih hampir oleh 100 persen peserta muktamirin dan muktamirat. Amien Rais saat itu terpilih dengan persentase suara 98,5 persen.
Kini diskusi soal ormas keagamaan mengelola tambang seolah hanya perkara fikih agama, sebatas hukum halal atau haram, tapi tidak ditempatkan dalam cakrawala kehidupan bermasyarakat yang lebih heterogen dan kontemporer. Bagaimana posisi energi fosil seperti batu bara dalam tata kelola energi terbarukan dewasa ini, misalnya? Bagaimana masyarakat dunia memandang energi batu bara saat ini? Energi fosil yang didapat dengan mengekstrak kekayaan alam adalah bagian “jiwa zaman” dua ratus tahun lalu. Ia muncul bersamaan dengan “revolusi industri” yang akhirnya melahirkan kolonialisme dan imperialisme. Energi batu bara adalah residu dari semangat zaman abad 19 dan 20.
Sejumlah negara di Eropa sudah meninggalkan sepenuhnya penggunaan energi batu bara untuk pembangkit listriknya karena kekotoran proses produksi dan pencemaran udara yang dihasilkannya. Negara negara di Asia yang paling rakus mengkonsumsi batu bara pun, seperti China dan India sangat gencar “mematikan” pembangkit listrik tenaga batu bara mereka.
Namun, kehilangan besar yang membuat saya gundah adalah kita kehilangan lagi kekuatan masyarakat sipil yang otentik, yang satunya kata dengan perbuatan. Barisan kelompok masyarakat yang berani menyampaikan kebenaran pada penguasa, karena posisinya netral, tak berpihak, selalu menjaga diri dari kekuasaan. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more