Angin dingin dari utara kembali menerpa wajah. Kini saya mencari ruang hangat di sebuah kedai minum yang berjejer di sekitar Harvard Square. Seorang teman menganjurkan saya menikmati lobster gulung yang sangat terkenal jika singgah di Boston. Saya mencoba memesan segelas kopi dan mengikuti saran teman memesan lobster gulung. Saya kira ini adegan yang banyak diidamkan turis ketika mengunjungi Boston: menikmati hidangan favorit ini sambil memandang remaja remaja sibuk mengayung perahu dayung. Setiap kelompok yang tak mengayuh dayungnya dengan benar, nampak tertinggal dari rekan lainnya. Tapi semua tertawa-tawa.
Iya, semua nampak bergembira di kota ini, kota yang masa lalu seperti tak pernah silam. Apapun selalu mengingatkan akan sejarah di Boston. Seorang pelancong di meja sebelahku meneguk teh sambil berapi api bicara revolusi Amerika yang salah satunya diawali dari segelas teh. Kita tahu peristiwa Pesta Teh Boston pada 16 Desember 1773 saat demonstran melampiaskan kemarahan pada British East India Company menjual teh dari Tiongkok di koloni-koloni Amerika tanpa membayar pajak. Mereka menaiki kapal Inggris dan melempar peti peti teh di Pelabuhan Boston yang memancing reaksi serupa di kota kota lain yang memicu Revolusi Amerika.
Demikian, saya menghirup udara kota ini dengan penuh syukur. Sementara cuaca di luar semakin tak terprediksi. Namun, kata orang lokal, cuaca buruk di Boston masih lebih baik dari cuaca baik di kota lain. Begitulah cara warga setempat menyanjung kotanya. Mereka dengan sangat gembira tengah menyiapkan sebuah marathon yang kini dikenang sebagai salah satu seri lomba lari jarak jauh terpopular di dunia. Konon ini salah satu marathon tertua, terberat dan tak terlupakan bagi jutaan pelari yang pernah mengikutinya. Banyak orang tetap ingin mengikuti Boston Marathon meski telah menamatkan berkali kali.
Lewat jendela kafe saya kembali memandang lansekap kota Boston, kota yang akan menjadi saksi mimpi saya menamatkan Enam Bintang. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more