Boston: Enam Bintang (Bagian 1)
- Dok.Pribadi
Tak lalu semua soal kegembiraan. Marathon adalah soal kehidupan yang saling melengkapi. Saya menikmati kesenangan berlari dalam cuaca dingin dengan jalur yang rata seperti Berlin Marathon sehingga menyelesaikan lomba dengan lebih cepat dari yang saya perkirakan.
Namun, saya juga pernah membagikan pada rubrik kolom ini betapa saya menamatkan London Marathon saya dengan kesakitan yang luar biasa saat itu.
Saya nyaris tak menyelesaikan lomba tersebut. Saya tak bisa menggerakan kaki saya kecuali seinci demi seinci. Seperti ada balok yang mengganjal lutut saya. Pil penghilang rasa sakit dan analgesik yang biasanya manjur untuk meredakan rasa sakit tak menolong.
Hanya afirmasi positif yang bisa menyelamatkan. Setiap pelari jarak jauh akan paham, marathon sesungguhnya dimulai setelah kilometer ke 28 dan setelahnya. Di jarak itulah tak ada siapapun yang kita hadapi selain diri sendiri. Setiap pelari punya mantera ajaib untuk menumbuhkan semangat menyelesaikan lomba betapa pun beratnya. Murakami, misalnya selalu menyebut dalam hatinya; ‘Rasa sakit ini adalah pilihan.”
Saya selalu memilih berdamai dengan diri sendiri ketika menghadapi situasi kelelahan sangat seperti itu. “Ecep, nikmati semua tekanan ini. Nikmatilah semuanya. Setelahnya kamu akan melenting lebih tinggi,” begitu afirmasi yang selalu saya tumbuhkan di kepala yang pada gilirannya akan berdampak pada kordinasi tubuh.
Angin dingin dari utara kembali menerpa wajah. Kini saya mencari ruang hangat di sebuah kedai minum yang berjejer di sekitar Harvard Square. Seorang teman menganjurkan saya menikmati lobster gulung yang sangat terkenal jika singgah di Boston. Saya mencoba memesan segelas kopi dan mengikuti saran teman memesan lobster gulung. Saya kira ini adegan yang banyak diidamkan turis ketika mengunjungi Boston: menikmati hidangan favorit ini sambil memandang remaja remaja sibuk mengayung perahu dayung. Setiap kelompok yang tak mengayuh dayungnya dengan benar, nampak tertinggal dari rekan lainnya. Tapi semua tertawa-tawa.
Iya, semua nampak bergembira di kota ini, kota yang masa lalu seperti tak pernah silam. Apapun selalu mengingatkan akan sejarah di Boston. Seorang pelancong di meja sebelahku meneguk teh sambil berapi api bicara revolusi Amerika yang salah satunya diawali dari segelas teh. Kita tahu peristiwa Pesta Teh Boston pada 16 Desember 1773 saat demonstran melampiaskan kemarahan pada British East India Company menjual teh dari Tiongkok di koloni-koloni Amerika tanpa membayar pajak. Mereka menaiki kapal Inggris dan melempar peti peti teh di Pelabuhan Boston yang memancing reaksi serupa di kota kota lain yang memicu Revolusi Amerika.
Load more