IA berdiri di tengah jajaran delapan hakim konstitusi yang baru menggelar pemilihan ketua baru bagi lembaga yang tengah remuk akibat pelanggaran etika berat.
Ia tak nampak menyesal. Sehari sebelumnya ketika menemui wartawan, juga tak ada ungkapan rasa bersalah atau permintaan maaf. Sepertinya Anwar Usman, adik ipar Presiden Joko Widodo itu tak merasa bertanggung jawab atas kegaduhan nasional yang telah terjadi, pada krisis kepercayaan publik soal masihkah Indonesia jadi negara hukum, bukan negara kekuasaan?
Pada Kamis, 9 November 2023 itu, delapan hakim konstitusi tak melibatkan dirinya dalam proses pemilihan Ketua Mahkamah Konstitusi. Perannya terus diisolir, selain dicopot dari jabatan Ketua MK, ia juga tak boleh mengadili sengketa pemilu.
Namun, Anwar Usman masih berada di antara jajaran hakim yang terhormat itu, sesekali ikut tersenyum dengan dingin. Seperti tak ada persoalan besar yang ia perbuat yang meruntuhkan kepercayaan rakyat pada lembaga peradilan. Ketika delapan rekannya melambai lambai pada wartawan, tangan kanannya ikut diangkat digerakan ke kanan dan ke kiri. Wajahnya tetap datar. Dingin.
Padahal, dua hari sebelumnya tiga hakim Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang diketuai Jimly Asshiddiqie membuktikan lewat serangkaian pemeriksaan saksi saksi, hampir semua laporan yang dituduhkan pada Anwar Usman terbukti.
Adalah pakar hukum tata negara dari Universitas Gajah Mada, Zainal Arifin Mochtar dan Denny Indrayana yang mengembalikan akal sehat pada lembaga peradilan. Sebagai pelapor mereka mengadukan banyak kejanggalan pada putusan 90/PUU-XXI/2023 dan mengajukan uji formil berdasarkan argument UU Kekuasaan Kehakiman.
Dalam Undang Undang Kehakiman, setiap hakim (termasuk hakim MK) harus mengundurkan diri dari mengadili sebuah perkara yang melibatkan kepentingan keluarganya, apabila tidak, maka putusan yang dihasilkan menjadi tidak sah (tidak memenuhi syarat formil).
Yang tak terbantahkan: ada hubungan keluarga, yakni relasi paman dan keponakan dalam terbitnya Putusan 90/PUU-XXI/2023. Yang Mulia Eks Ketua MK Anwar Usman saat itu posisinya adalah paman dari Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo setelah Anwar Usman menikahi adik Presiden, Idayati.
Kita tahu MKMK telah menyampaikan putusan bahwa Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Jimly menyebut pelanggaran berat yang dilakukan Anwar Usman adalah tidak mengundurkan diri dari proses pemeriksaan pengambilan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 terbukti melanggar Sapta Harsa Hutama, Prinsip Ketakberpihakan.
Tak hanya itu, Anwar Usman sebagai Ketua MK juga dibuktikan tidak menjalankan fungsi kepemimpinan (judicial leadership) secara optimal, sehingga melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan.
Anwar Usman juga terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, sehingga melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Independensi.
Ceramah Anwar Usman mengenai kepemimpinan usia muda di Universitas Islam Sultan Agung Semarang juga dibuktikan berkaitan erat dengan substansi perkara menyangkut syarat usia capres dan cawapres, sehingga terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketakberpihakan.
Meski membuktikan proses yang cacat etika, MKMK tak membatalkan putusan hukum yang dihasilkannya. “Membatalkan keputusan MK melampaui kewenangan pembentukan MKMK,” ujar Jimly.
Meski sanksi tak membatalkan keputusan janggal MK, sejumlah pihak menyerukan baiknya Anwar Usman mundur permanen dari hakim konstitusi untuk menyelamatkan citra MK sebagai benteng penjaga konstitusi.
Salah satu koleganya, eks hakim konstitusi Maruarar Siahaan menyebut Anwar Usman harus mengundurkan diri karena terbukti melanggar etik berat. "Ini agar efektif, kalau di shame culture, di mana ada shame culture, itu sudah tidak usah saya terjemahkan. Semua orang akan mundur kalau keadaan seperti ini," kata Maruarar. Hamdan Zoelva, eks Ketua MK juga menyarankan hal yang sama. “Tapi semua tergantung yang bersangkutan,” ujar Hamdan.
Filsuf Yunani Plato pernah menyebut budi pekerti yang tinggi adalah rasa malu terhadap diri sendiri. Tapi itu mungkin di negeri negeri yang jauh, bukan di Indonesia. Kambiz Mehdizadeh, menantu eks Presiden Iran, Hassan Rouhani, mengundurkan diri dari jabatan kepala badan survei geologi hanya berselang dua hari setelah pengangkatannya lantaran dituduh nepotisme. Di Korea Selatan, Menteri Luar Negeri Korea Selatan Yu Myung-hwan memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya karena tudingan nepotisme terkait pekerjaan putrinya.
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengundurkan diri sebagai sekretaris kebijakan eksekutif setelah publik mengkritik pesta pribadi sang anak, Shintaro Kishida di kediaman resmi Perdana Menteri yang memicu kemarahan publik.
Tapi, itu semua terjadi di negara yang pejabat-pejabatnya memelihara harga diri dan rasa malu dalam satu tarikan nafas. Usai putusan MK, misalnya, warganet melemparkan guyon meme di jagat maya: “Bahkan tanaman putri malu pun berubah tak malu lagi jika ditanam di MK. Disentuh tak lagi menunduk karena malu, malah berjoget joget, benarkah?” Atau mengunggah gambar sebuah hewan sejenis serangga dengan tulisan: “Kabarnya undur undur tak lagi mau jalan mundur” Sebuah sindiran yang terasa getir.
Meski sebenarnya jika ingin mengikuti etika, Anwar sebenarnya memiliki contoh yang dekat. Pada 2011 ada hakim konstitusi yang mundur setelah ditegur oleh Majelis Kehormatan MK.
Namanya Arsyad Sanusi. Arsyad terjerat kasus etik karena membiarkan anggota keluarganya, dalam hal ini putrinya berhubungan dengan pihak berperkara: seorang calon bupati.
Meski tidak terbukti terlibat secara langsung, pertemuan diduga membahas soal pemenangan gugatan sang calon bupati. MKMK menilainya bersalah melanggar kode etik karena membiarkan anggota keluarganya berhubungan dengan pihak berperkara. Karena merasa kehormatan diri adalah segalanya, Arsyad memutuskan mundur dari hakim konstitusi meski ia hanya diberikan sanksi teguran.
Demikianlah, setelah lima kali pemilu digelar setelah reformasi, setelah perjuangan mahasiswa yang berdarah darah menolak praktik kolusi, korupsi dan nepotisme, kini bentuk korupsi yang paling kuno itu datang lagi dengan lebih telanjang.
Nepotisme berakar dari kata nepo atau nephew dalam bahasa Inggris, kini publik melihat keponakanisme ini coba didesakkan dengan banyak cara, termasuk dengan mengubah aturan hukum.
Namun, bagi saya, semua gegeran hukum ini membuktikan---Anwar Usman pasti telah tahu: pada akhirnya putusan hakim bukanlah yang terakhir, di ujung terdalam ada hati nurani dan Tuhan yang lebih tahu.
(Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more