Keenam perempuan itu mengacung acungkan poster betapa dungunya memperlakukan perempuan dengan cara membiarkannya memulai lomba secara berbeda. Aksi duduk di titik start sebelum pistol menyalak ternyata menarik perhatian media massa dan penonton.
Apalagi, saat itu perjuangan gerakan persamaan hak perempuan memang sedang mengalami musim semi di New York. Perempuan perempuan pekerja saling mengorganisasi diri aktif melakukan unjuk rasa di ruang publik. Beberapa bulan sebelumnya, Presiden Richard Nixon menandatangani undang-undang yang melarang diskriminasi jenis kelamin di sekolah dan membuka jalan bagi lebih banyak peluang bagi perempuan dalam olahraga atletik sekolah.
Tuntutan enam pelari lalu disetujui penyelenggara New York Marathon: aturan perbedaan waktu start pelari perempuan dan laki laki pun dihilangkan. Kini kita tahu, dua tahun setelah demonstrasi tersebut Kathrine Switzer menjuarai New York Marathon. Demikian nilai nilai New Yorker tak pernah mati. Seorang liberalis sejati adalah seorang pejuang politik kebebasan individu di lapangan apapun, termasuk di lapangan olah raga.
Saya melihat lagi wajah wajah pelari yang kelelahan dari banyak bangsa dan warna kulit ini. Mereka terbang ribuan kilometer hanya untuk mencecap nilai nilai kebebasan tersebut. Nilai nilai yang telah membuat kota ini terus bisa memperbarui dirinya, jadi kota yang terus menjadi tujuan imigran warga negara manapun.
Saya memilih untuk kembali fokus. Dengan berlari saya kembali menemui diri sendiri, menggumuli lagi pikiran pikiran yang paling dirasa penting, menyisihkan pikiran pikiran yang tak terlampau penting yang sebelumnya mendominasi.
Marathon bagi saya semacam ritual meditatif. Ia seperti ajang seleksi mengeluarkan pikiran, ide, gagasan yang tak relevan untuk hidup saat ini dan di sini, lalu memusatkan pikiran untuk gagasan, ide,pikiran penting lainnya. Marathon mengajarkan saya mengenali ruang dan waktu yang paling dekat dan utama, yakni diri sendiri.
Load more