Kota bangsa bangsa yang selalu gaduh dan bergegas. Saya akan selalu mengenangnya dengan indah. jembatan jembatan yang pernah saya lihat dulu pada selembar kartu pos, yang di bawahnya mengalir sungai sungai jernih.
Berlari di bawah fasad fasad jembatan itu entah kenapa menimbulkan energi untuk bertahan dari rasa sakit berlari 42 kilometer. Gedung gedung bertingkat yang seperti dibangun sore kemarin karena bentuknya yang modern. Saking tingginya kota menjadi selalu teduh dan suram, seperti wajah kota dalam film Gotham City.
Kegaduhannya tak tergantikan, bahkan meski tak ada 50 ribuan peserta New York Marathon, kota ini tetap sibuk dan bising. Sirine mobil polisi meraung raung bersaing dengan derap kaki kaki pejalan kaki dan pengamen jalanan di simpang Times Square Garden, salah satu perlintasan paling sibuk di dunia.
Aku melihat lagi wajah wajah pelari pelari di jalanan New York yang sebagian tampak acuh tak acuh, tapi sebenarnya diikat nilai nilai bersama ini. Aku pernah terpaku membaca berita bagaimana warga kota antre puluhan kilometer hanya untuk memberikan darah ketika kota ini luluh lantak oleh serangan teror Black September yang meluluhlantakan menara kembar World Trade Center (WTC).
Salah satu ciri warga kota adalah mereka memiliki solidaritas dan keyakinan politik yang tinggi. Dan nilai nilai liberalisme, emansipasi, keadilan juga diperjuangkan di arena marathon.
Pada 1970-an, misalnya enam orang perempuan unjuk rasa di titik start New York Marathon menentang perlakuan berbeda di ajang marathon oleh Persatuan Atletik Amatir Amerika Serikat. Saat itu pelari perempuan berlari lebih awal atau lebih belakang dari pelari laki-laki.
Load more