Perdebatan seperti dihindari karena mereka tak lagi terhubung dengan publik luas. Publik, konstituen, massa kebanyakan, saya kira sudah bukan lagi dianggap faktor. Pertemuan partai bukan lagi soal apa yang baik dan buruk bagi publik. Bahkan baik dan buruk bisa jadi sudah tak relevan karena partai, kendaraan bagi perjuangan gagasan sudah berubah jadi klik semata.
Ketika klik mendominasi dan kepentingan kelompok begitu berkuasa, politik mati diam-diam. Saya teringat, misalnya Partai Rakyat Demokratik (PRD), partai kecil yang tak lolos pemilu, namun dikenang sebagai salah satu partai anak muda yang hidup dengan gagasan besar. Cita cita politiknya ketika itu, pada 1990-an untuk mencabut paket 5 Undang Undang Politik, Cabut Dwi Fungsi ABRI sangat bertaut dengan publik.
(Budiman Sudjatmiko saat Deklarasi Partai Rakyat Demokratik (PRD) 22 Juli 1996. Sumber: Dok. Petrus Hariyanto)
Saya yang bukan kader dan anggota PRD tiba tiba bergerak ikut memperjuangkannya, meneriakannya dalam demonstrasi-demonstrasi di kampus, bahkan hingga harus mendekam di tahanan polisi.
Ketika politik sehat lenyap, kini kita bahkan kembali mendengar desas-desus, gosip, gerendengan politik seperti pada masa otoritarian dulu: ada sebuah kekuasaan yang ingin mewariskan dinasti politik. Putra sulung dan menantu jadi Wali Kota, putra bungsunya jadi Ketua Umum Partai. Tentu semuanya menggunakan stempel demokrasi.
Dan Jokowi, presiden yang maju ke pentas nasional karena faktor meritokrasi,--memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi--bukan karena kekayaan atau kelas sosial itu, tiba tiba merobohkan semua capaian yang harusnya jadi warisannya.
Load more