Dalam konteks global, ketakutan atas kebangkitan politik Islam memang masih terus didengungkan. Kita ingat dalam konteks internasional, pada alaf baru (abad 21) masih muncul pandangan ilmuwan Barat yang merendahkan praktik politik Islam.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Harvard Samuel P Huntington misalnya menyebut konsep konsep politik Islam bertentangan dengan premis demokrasi. Bahkan Huntington menulis Clash of Civilizations dalam jurnal Foreign Affairs pada 1993. Tesis Huntington Barat akan berbenturan dengan Islam setelah era Perang Dingin selesai.
Kini ramalan Huntington terbukti salah. Di Indonesia, praktik politik Islam toh bisa senafas dengan demokrasi modern. Suara yang mempertentangkan Islam dengan demokrasi hanya kaset sember yang tak nyaman lagi diputar di era kini, ketika keislaman dan keindonesiaan sudah diterima sebagai sesuatu yang sah dan wajar.
Demokrasi sudah diterima sebagai kenyataan universal oleh pemimpin muslim di Indonesia. Islam dan negara hubungannya sangat harmonis seperti pengantin baru. Hampir semua partai yang berlaga di Pemilu 2024 misalnya mengklaim mewakili dan akan memperjuangkan aspirasi umat Islam.
Semua partai memiliki organisasi sayap yang menyasar umat Islam. Sudah jamak, dalam pemilu tokoh tokoh umat jadi rebutan parpol untuk dijadikan 'vote getter', pendulang suara. Dalam panggung kampanye simbol simbol keislaman selalu digunakan untuk menggaet ceruk pasar paling besar.
Di luar pertarungan elektoral, hubungan islam dengan negara juga saling memberi dan menerima. Simbiosis mutualis. Saling ketergantungan. Kini terjadi proses santrinisasi birokrasi dengan kadar yang paling efektif sepanjang sejarah NKRI karena banyaknya kelas menengah muslim terdidik yang masuk ke dalam birokrasi.
Pejabat pejabat negara saat ini umumnya saat masih mahasiswa pasti berkhidmat di organisasi semacam HMI, PMII, IMM atau PII.
Tengoklah masjid yang paling megah, nyaman dengan pendingin udara yang terawat baik, memiliki daftar panjang penceramah tak hanya untuk khatib Jumat, tapi juga kajian agama Sabtu dan Minggu.
Kini pejabat negara perlu menyambangi pondok pesantren yang ada di wilayahnya secara berkala, misalnya untuk mendapatkan restu dan dukungan politik. Pimpinan pesantren pun dengan luwes semakin terbiasa menghadapi pejabat negara karena toh sebagian mereka mungkin pernah jadi santrinya.
Load more