Jakarta - Ketua KPK Firli Bahuri meminta agar Gubernur Papua Lukas Enembe memenuhi panggilan agar perkara tersebut dapat segera terselesaikan. Eh, malah kuasa hukum Lukas Enembe minta agar pemeriksaan dilakukan di lapangan terbuka disaksikan oleh banyak masyarakat sesuai dengan budaya dan adat Papua.
KPK telah menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pekerjaan atau proyek yang bersumber dari APBD Provinsi Papua.
KPK juga telah memanggil Lukas Enembe untuk diperiksa sebagai tersangka di Gedung KPK Jakarta pada 26 September 2022, tapi ia tidak memenuhi panggilan dengan alasan masih sakit.
Bahkan ratusan simpatisan Lukas Enembe menjaga ketat kediaman pribadi nya di Koya Tengah, Distrik Muara Tami, Jayapura. Mereka memblokade jalan menggunakan ekskavator tidak jauh dari jalan poros.
"KPK sampai saat ini masih melakukan komunikasi dengan pengacara Lukas Enembe terkait dengan pertanggungjawaban dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Gubernur Papua dan kita tentu sangat menjunjung tinggi HAM," ungkap Firli.
Firli menyebut KPK lebih memilih untuk menjaga HAM milik Lukas Enembe dalam penanganan kasus tersebut, termasuk hak Lukas untuk mendapatkan pengobatan.
"Karena dalam hukum acara pidana pun diatur bahwa seseorang itu memang harus kita hormati hak-haknya dan kita berikan. Kalau seandainya orang yang kita butuhkan keterangannya dalam keadaan sakit, tentu kita juga akan harus melakukan pengobatan, termasuk juga misalnya keperluan untuk dokter," tambah Firli.
Menurut Firli, KPK berkomitmen untuk melakukan komunikasi dengan Lukas Enembe termasuk pengacara Lukas.
"Saya berharap Pak Lukas Enembe selaku Gubernur Papua memberikan kesempatan kepada kita dan beliau sendiri memberikan keterangan kepada kita sehingga membuat terang dugaan tindak pidana yang dilakukan," ucap Firli.
Artinya, Firli menyebut, KPK belum akan melakukan upaya paksa terhadap Lukas Enembe.
"He he he, kita bekerja tetap, karena prinsip-prinsip tugas pelaksanaan hukum KPK itu satu kepentingan umum, dua transparan, tiga akuntabel, empat proporsionalitas dan lima itu tentu menjamin kepastian hukum dan keadilan yang juga tidak kalah penting adalah menghormati HAM," tutur Firli.
Permintaan agar Lukas Enembe kooperatif justru mendapat "perlawanan" sengit dari kuasa hukumnya. Pengacara Lukas Enembe, Aloysius Renwarin di gedung KPK, Senin (10/10/2022) justru meminta jika KPK ingin memeriksa Lukas harus dilakukan di lapangan terbuka di Papua. Itupun nanti setelah kondisi kesehatan Lukas Enembe membaik.
Menurut dia, hal ini sesuai dengan budaya di Papua yakni disaksikan oleh banyak masyarakat Papua.
"Panggilan terhadap bapak Lukas disepakati oleh keluarga dan masyarakat adat Papua mereka menyatakan bahwa pemeriksaan bapak Lukas perlu dilakukan di Jayapura," kata Aloysius di Gedung KPK.
"Sesuai dengan budaya Papua, bukan sembunyi-sembunyi di KPK Jakarta. Mereka minta tetap di Papua secara terbuka di lapangan terbuka," sambungnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa menurut budaya Papua, perempuan dan anak itu dilindungi. Dalam hal ini yang dimaksud ialah istri dan anak Lukas yang dipanggil sebagai saksi oleh KPK.
"Apalagi yang diperiksa seorang bapaknya itu dilindungi, jadi tidak bisa sembarangan menyalon. Sesuai yang ada di masyarakat Papua mau selesaikan secara hukum adat Papua karena Pak Lukas kepala suku besar," ucapnya.
Dia menambahkan, Lukas merupakan tokoh besar dan Kepala Suku yang telah dikukuhkan pada tanggal 8 Oktober 2022 lalu oleh dewan adat Papua. Oleh karena itu, Aloysius menegaskan alasannya mengapa pihaknya meminta diperiksa di tempat terbuka.
"Beliau sangat gentlemen akan diperiksa di Papua di halaman terbuka dengan khas Papua semua disaksikan oleh rakyat Papua. Beliau merupakan tokoh besar Papua kepala suku besar maka harus diperiksa di depan rakyatnya," tandasnya.
Istri dan anak Gubernur Papua Lukas Enembe, yakni Yulce Wenda dan Astract Bona Timoramo Enembe juga menolak panggilan KPK sebagai saksi dugaan kasus suap dan gratifikasi APBD Provinsi Papua.
Permintaan kuasa hukum Lukas ini kemudian mendapat beragam reaksi, salah satunya dari aktivis mahasiswa Papua, Victor Kogoya. Victor mengatakan usulan pemeriksaan Lukas Enembe di lapangan terbuka yang dinilai menyalahi hukum yang berlaku di Indonesia.
Menurut dia, prosedur hukum yang diketahui adalah pemeriksaan dilakukan di dalam ruangan tertentu, bukannya di ruang terbuka yang disaksikan masyarakat.
"Bahkan dalam aturan adat juga tidak ada pemeriksaan terbuka seperti yang disuarakan kuasa hukum Lukas Enembe," katanya menegaskan.
Terkait pengangkatan Lukas Enembe sebagai kepala suku besar, Victor menegaskan harus melibatkan semua ketua suku di beberapa daerah di Papua yang berjumlah sekitar 250 suku di Papua.
"Tidak bisa hanya dari sejumlah kepala suku saja," ujarnya.
Menurut dia, Lukas terpilih sebagai Gubernur Papua karena dipilih oleh masyarakat melalui jalur pemerintahan, sehingga tidak bisa dikatakan seorang kepala suku besar di Tanah Papua.
Menurutnya, warga di Papua meminta transparansi terkait penetapan Lukas Enembe sebagai tersangka dugaan kasus korupsi di wilayahnya sendiri. Masyarakat meminta Lukas untuk hadir dan diperiksa langsung di lapangan terbuka, agar tidak ada rekayasa yang dilakukan. Hal ini tentu karena dia merupakan kepala suku besar Papua. (ant/ito)
Load more