Jakarta - Masih ingat dengan gerakan 212? Terbaru, dikabarkan Persatuan Alumni 212 (PA 212) dan Gerakan Nasional Pembela Rakyat (GNPR) bakal menggelar unjuk rasa di depan Istana Negara, Senin (12/9/2022) besok. Mereka akan berunjuk rasa menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.
Aziz Yanuar, Kuasa Hukum Habib Rizieq mengatakan, aksi 1209 yang diprakarsai oleh GNPR tersebut, akan dihadiri oleh Persatuan Alumni 212 (PA 212), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF Ulama) dan Front Persaudaraan Islam (FPI).
”PA 212 informasinya akan terlibat, GNPF Ulama dan FPI juga InsyaAllah beserta banyak sekali elemen masyarakat lain,” ujar Aziz kepada wartawan, Minggu (11/9/2022).
Aziz juga menyampaikan melalui gambar seruan aksi yang dibagikan, aksi bela rakyat (AKBAR) tersebut membawa tiga tuntutan.
”Tiga tuntutan rakyat (Tritura): Pertama, turunkan harga BBM; Kedua, Turunkan harga-harga dan terakhir, Tegakkan Supremasi Hukum,” tulis seruan aksi yang dibagikan oleh Aziz tersebut.
Dalam seruan aksi tersebut, kegiatan unjuk rasa dilangsungkan mulai pukul 13.00 WIB. Sejumlah logo dari elemen yang bergabung diperlihatkan dalam poster digital seruan aksi AKBAR.
(Keterangan pers GNPR mengenai rencana unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM, Jumat (9/9). Sumber: ist)
Sebelumnya, Gerakan Nasional Pembela Rakyat (GNPR) angkat bicara terkait kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Dalam pernyataan resmi GNPR menilai, kenaikan harga BBM akan semakin memberatkan ekonomi rakyat yang saat ini masih terpuruk akibat pandemi Covid-19, terutama karena kenaikan harga BBM secara otomatis telah akan memicu kenaikan harga berbagai barang dan jasa lain, seperti harga-harga pangan, bahan pokok dan transportasi.
“Kondisi ini akan berdampak pada meningkatnya jumlah orang miskin. Rakyat miskin semakin miskin, sedangkan rakyat yang hampir miskin benar-benar akan jatuh miskin. GNPR tegas menolak kenaikan harga BBM karena kenaikan harga BBM adalah pengkhianatan terhadap mandate konstitusi,” ujar Ust Yusuf Martak, ketua GNPF dalam keterangan persnya.
Menurutnya, alasan 80 persen subsidi BBM tidak tepat sasaran sudah berlangsung bertahun-tahun, namun bukannya dan mencari solusi dan memperbaiki kondisi yang tidak adil ini sebelum menaikkan harga BBM, pemerintah menzalimi rakyat miskin dengan semena-mena menaikkan harga BBM, sehingga ketidakadilan tetap akan terus berlangsung.
“Kami meyakini kebijakan subsidi solar sarat moral hazard, sebab pemerintah menyatakan 89% solar bersubsidi tidak tepat sasaran dan dinikmati dunia usaha. Namun padsa saat yang sama penyelewengan penggunaan BBM bersubsidi, minimal bagi truk-truk pengusaha sawit, tambang batubara, tambang mineral dan industtri untuk leluasa mengkonsumsi solar bersubsidi,” ungkapnya.
Dia menilai, Presiden Jokowi telah menggunakan kebijakan harga BBM untuk pencitraan politik demik kekuasaan, terutama saat menjelang Pilpres 2019. Untuk itu, kebijakan harga BBM yang semula “berfluktuasi” sesuai perubahan harga minya dunia, telah dirubah untuk ditahan menjadi “harga tetap: selama lebih dari empat tahun. Padahal inflasi terus terjadi setiap tahun (2022:4,3%).
Akibatnya, keterkaitan harga-harga barang dan jasa lain terhadap harga BBM yang semula lancar dan harmonis, berubah menjadi hubungan yang memicu lonjakan tinggi terhadap berbagai harga barang dan jasa lain yang justru memiskinkan dan menyengsarakan.
“Politik harga BBM Jokowi yang penuh pencitraan telah memakan korban mayoritas rakyat Indonesia, tak tekecuali para pendukung dan simpatisan Jokowi sendiri,” tandasnya.
Tak hanya itu, jelas Martak, harga BBM dihitung berdasarkan formula yang antara lain mengandung unsur pajak berupa pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB). Karena menganut paham ekonomi sangat liberal dan tidak berempati kepada nasib rakyat, pemerintah yang seharusnya bisa menghapus pajak di tengah kesulitan ekonomi rakyat, justru teap mengnenak pajak terhadap harga BBM.
Menurut Martak, alasan BBM bersubsidi menjadi beban bagi APBN adalah alasan yang mengada-ada bahkan cenderung menghina rakyat, karena APBN adalah instrument untuk mensejahterakan rakyat, bukan instrument bancakan oligarki. Sehingga segala pengeluaran yang bertujuan bagi kesejahteraan rakyat bukan beban.
“Justru ABPN hari ini dibebani oleh proyek mercusuar Pemerintahan Jokowi yang tidak prioritas dan hanya menguntungkan segelintir pengusaha oligarki, seperti proyek IKN, proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung yang biayanya terus meningkat, pengadaan vaksin yang didominasi swasta, dan proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang ditengarai sarat penggelembungan biaya demi perburuan rente,” tandasnya.
Lanjutnya, pernyataan pemerintah bahwa subsidi BBM akan membuat APBN jebol bagi kami adalah kebohongan, karena dikatakan ada kebutuhan tambahan subsidi energy Rp198 triliun terhadap anggaran subsidi saat ini yang besarnya Rp502 triliun.
“Tetapi pada saat yang sama, kenaikan ahrga batubara, CPO, minyak dan gas dunia justru meningkatkan penerimaan Negara sangat besar, diperkirakan lebih dari Rp400 triliun. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa tambahan subsidi energy yang disebut Rp198 triliun jika harga BBM tidak naik, seharusnya tidak akan membuat APBN jebol,” kata Martak.
Di dalam nilai subsidi energy APBN Rp502 triliun, katanya, terkandung nilai subsidi listrik sebesar Rp60 triliun. Besarnya beban subsidi ini antara lain terjadi akibat kebijakan pemerintah yang memberi peluang kepada pengusaha listrik swasta (independent power producer, IPP) pro oligarki untuk menjual listrik kepada PLN dalam kondisi PLN kelebihan pasokan listrik (cadangan berlebih sekitar 50-60%) dan harga jualnya pun menerapkan skema tak or pay (TOP), atau terpaksa membeli melebihi kebutuhan.
“Akibatnya, harga pokok penyediaan (BPP) listrik menjadi jauh lebih tinggi. Tingginya BPP listrik ini sebagian telah dan akan terus ditanggung oleh APBNI dan konsumen listrik,” ujarnya.
Pemerintah menghitung nilai subsidi BBM atas dasar harga keekonomian. Harga BBM berdasar komponen harga beli minyak mentah, nilai alpha (termasuk keuntungan badan usaha), PPN dan PBBKB. Namun rakyat disuguhi informasi tentang harga keekonomian BBM yang berbedsa-bedsa dari pejabat Negara yang berbeda.
“Harga keekonomian BBM ini tidak transparan dan berbeda-beda dari pejabat Negara yang berbedas. Harga keekonomian BBM ini tidak transparan dan melanggar prinsip good governance, diduga digelembungkan dan diduga kuat terjadi moral hazard,” tutup Martak. (ito)
Load more