Jakarta - Pidato yang disampaikan Ketum PPP Suharso Monoarfa dalam kegiatan Politik Cerdas Berintegritas (PCB) di Gedung ACLC KPK, yang menyinggung soal amplop kiai, masih berbuntut panjang.
"Permintaan pengunduran ini kepada Saudara Suharso Monoarfa ini semata hanya untuk kebaikan kita bersama sebagai pengemban amanah dari pendiri PPP," demikian isi surat yang dikutip di Jakarta, Senin (29/8/2022).
Tiga majelis itu terdiri dari Majelis Syariah, Majelis Kehormatan dan Majelis Pertimbangan kembali mengirimkan surat ke Suharso.
Surat itu tertanggal 24 Agustus 2022 ditandatangani Ketua Majelis Syariah PPP, KH Mustofa Aqil Siroj, Ketua Majelis Kehormatan PPP, KH Zarkasih Nur, dan Ketua Majelis Pertimbangan PPP, Muhamad Mardiono.
Surat juga ditandatangai putra almarhum KH Maimoen Zubair, yaitu KH Abdullah Ubab Maimoen Zubair, dan juga KH Ahmad Haris Shodaqoh, KH Muhyidin Ishaq, KH Fadlolan Musyaffa.
Para ketua majelis itu dalam surat itu menyebutkan Monoarfa --Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas-- mengabaikan surat pertama dengan tidak memberikan jawaban baik secara lisan maupun tertulis. Padahal keadaan PPP semakin memburuk di tengah masyarakat. Maka pengunduran Suharso diyakini akan meredakan gejolak di kalangan masyarakat, terutama para habaib, kyai, danti, dan para pendukung PPP.
"Selanjutnya mekanisme akan diatur sesuai peraturan organisasi yang ada pada AD/ART Partai Persatuan Pembangunan (PPP)," lanjut surat itu.
Sementara itu, anggota Dewan Pertimbangan PPP, Usman M Tokan, membenarkan surat itu ada. "Surat pertama tidak ada jawaban, lalu dikirimkan lagi surat kedua," katanya.
Sebelumnya, pada Kamis (25/8/2022), Suharso Monoarfa enggan menanggapi menanggapi desakan terhadap dirinya untuk mundur dari jabatan Ketua Umum PPP.
"Wah itu saya nggak mau jawab, karena itu tidak pas saya jawab. Karena itu tidak ada dalam mekanisme di organisasi," ujar Suharso saat dijumpai wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (25/8/2022).
Menurut Suharso pihak terkait perlu melakukan tabayyun atau meneliti peristiwa dengan tidak tergesa-gesa memutuskan masalah.
Dia menjelaskan yang menjadi pemicu persoalan adalah pidato dirinya di KPK. Dia menekankan, pidato itu tidak berdiri sendiri dan merupakan pidato yang panjang dan disampaikan setelah sebelumnya pimpinan KPK memberikan sambutan.
"Jadi saya harus berkesinambungan lah kira-kira, jadi tone-nya itu mesti sama. Lalu saya adopsi bahwa semua yang disampaikan oleh KPK itu menjadi rujukan buat konteks, dan yang penting adalah acara itu untuk PPP dari KPK, dalam rangka edukasi untuk membangun budaya politik yang cerdas dan berintegritas," jelasnya.
Menurutnya, apa yang disampaikannya dalam pidato itu memiliki konteks yang pas dan terpadu dengan sambutan pimpinan KPK dan tema acara. Namun dia menekankan pidato yang disampaikannya di acara itu dipangkas, diviralkan, dan bahkan ditambahkan.
"Apa yang saya sampaikan adalah sesuatu yang menurut saya dapat dipertanggungjawabkan dalam konteksnya, apalagi kemudian diingatkan oleh Pak Nurul Ghufron (Wakil Ketua KPK) agar PPP itu tetap bersiteguh dengan dasar berpolitiknya Ketuhanan YME. Jangan semuanya serba uang, jangan kemudian apa yang disebut keuangan yang kuasa, nah itu dihindari," jelasnya.
Dia menegaskan tidak ada sama sekali keinginan dirinya melecehkan para kiai yang sangat dihormati, terlebih PPP didirikan para ulama dan kiai.
Dalam pidato Suharso Monoarfa di acara Pembekalan Antikorupsi Politik Cerdas Berintegritas (PCB) untuk PPP bekerja sama dengan KPK pertengahan Agustus lalu, Suharso menyinggung soal amplop kiai.
Dalam acara yang dapat disaksikan melalui kanal Youtube ACLC KPK itu, Suharso mengawali pidatonya dengan menceritakan pengalamannya saat menjadi pelaksana tugas Ketua Umum PPP, dimana dirinya mesti bertandang ke beberapa kiai pada pondok pesantren besar.
"Demi Allah dan rasulnya terjadi. Saya datang ke kiai dengan beberapa kawan, lalu saya pergi begitu saja. Ya saya minta didoain, kemudian saya jalan. Tak lama kemudian, saya dikirimi pesan WhatsApp, 'pak Plt tadi ninggalin apa nggak untuk kiai', saya pikir ninggalin apa, saya nggak merasa tertinggal sesuatu di sana," ujar Suharso kala itu.
Setelah itu Suharso diingatkan bahwa jika bertemu dengan kiai harus meninggalkan "tanda mata".
"'Kalau datang ke beliau beliau itu mesti ada tanda mata yang ditinggalkan'. Wah saya nggak bawa. Tanda matanya apa? sarung? peci? Al-Quran atau apa? 'Kayak nggak ngerti aja pak Harso ini'. Dan itu di mana-mana setiap ketemu, nggak bisa, bahkan sampai hari ini kalau kami ketemu di sana, kalau salamannya nggak ada amplopnya, itu pulangnya itu sesuatu yang hambar. Ini masalah nyata yang kita hadapi saat ini," jelasnya.
Cerita Suharso itu kemudian yang membuat dirinya didesak mundur dari Ketua Umum PPP. (ant/ito)
Load more