Pagi itu di Kampung Batua Makassar, 11 Desember 1946, pukul 10.30, sudah ada 24 mayat tergeletak. Kampung itu sudah diserbu oleh pasukan khusus Belanda Depot Speciale Troepen (DST) pimpinan Kapten Westerling sejak pukul 03.00 pagi, dalam sebuah operasi yang disebut militer Belanda sebagai "penertiban kelompok teroris".
Operasi pasukan Westerling itu dikemudian hari dikenang sebagai "Peristiwa Sulawesi Selatan", yang berlangsung dari 11 Desember 1946 sampai 3 Maret 1947. Peristiwa itu menjadi catatan pilu tentang operasi 12 minggu, pembantaian warga di Sulawesi Selatan.
"Dengan mata merah Hay bercerita tentang orang-orang yang saat itu duduk berjongkok di lokasi tersebut, mereka dilanda kepanikan karena ketakutan, Semua kata tercekat dalam kerongkongan. Rasa ketakutan, siapa dapat giliran berikutnya" tulis Maarten Hidskes dalam bukunya "Di Belanda Tak Seorangpun Mempercayai Saya".
Foto: Westerling memimpin parade pada perayaan ulang tahun Ratu Juliana di Batavia. (Wikipedia)
Opsir Penghubung Hay, ketika Hidskes menulis bukunya itu telah berusia 80-an, Ia mencoba mengingat kembali, bagaimana saat Kapten Westerling melepas tembakan pertama eksekusinya.
"Saat itu sulit dibayangkan, hampir surealistis. Westerling berdiri, kemudian bum, laki-laki itu jatuh tersungkur. Tak bisa dipercaya itu benar-benar terjadi" kisah Hay pada Maarten Hidskes.
Dalam kenangan Opsir Penghubung Hay, sebelum pasukan DST pimpinan itu diberangkatkan ke Sulawesi Selatan, sang Kapten berpidato dihadapan anak buahnya. Dengan lantang ia berkata:
"Siapa yang tidak sanggup berdiri dengan kedua kaki berada dalam genangan darah setinggi pergelangan kaki, silahkan pergi sekarang!" kata Kapten Westerling.
Baca Juga: Tentang Pembantaian 40 Ribu Jiwa di Sulawesi Selatan, Kapten Westerling pun Tertawa
Menurut Herman dan Wim, dua anggota pasukan khusus lainnya, saat itu, beberapa pemuda dalam barisan pasukan Westerling benar-benar memutuskan untuk mengundurkan diri.
"Pinky, tiba-tiba dia kabur, terlalu berat baginya. Dia kembali ke bagian ketentaraan yang sebelumnya. Kapten tidak memandang rendah siapapun" kata Wim dan Herman sambil menunjukkan sosok seorang pemuda kurus di sebuah foto.
Tak semuanya dari 123 personel DST yang dikirim ke Sulawesi Selatan itu orang Belanda, kebanyakan dari mereka adalah pemuda asal Sunda, Ambon, Manado, Jawa dan Timor. Hanya sekitar 30-an personilnya yang merupakan orang Belanda.
Buku yang ditulis Maarten Hidskes ini merupakan hasil pencarian dirinya, mengenai sejauh mana keterlibatan ayahnya, Piet Hidskes, tentara pasukan khusus belanda yang menjadi anak buah Westerling saat operasi militer di Sulawesi Selatan.
Sosok Kapten Westerling
Komandan Pasukan Khusus itu adalah Eerste Luitenant (Letnan Satu) Raymond Westerling. Pria ini, 4 bulan sebelum diberangkatkan ke Sulawesi Selatan, tepatnya pada 20 Juli 1946, Ia baru saja diangkat menjadi komandan pasukan khusus DST dengan pangkat Kapten.
Sang Kapten kelahiran Turki, 31 Agustus 1919, bernama asli Raymond Pierre Paul Westerling, atau Kapten Westerling. Laki-laki yang oleh kalangan dekatnya dipanggil 'Ray'. Setidaknya begitulah kata kebanyakan orang.
"Laki-laki itu selalu membawa-bawa meja lipat ke kancah pelaksanaan aksi dan di atas meja itu dia pamerkan revolver-revolvernya. Laki-laki ini, begitu kata kebanyakan orang, menjadikan pelaksanaan eksekusi sebagai suatu pertunjukan." tulis Hidskes.
Foto: Kapten Westerling saat perpisahan di Mattoangin, 3 Maret 1947 (Dok. Maarten Hidskes)
Bahasa Belanda Westerling tak begitu baik, tetapi sebaliknya bahasa Prancis dan bahasa Melayunya sangat bagus.
Kabarnya di Societet Makassar Westerling pernah melakukan eksekusi karena seseorang yang sudah dia larang masuk, ternyata akhirnya kelihatan di klub itu.
"Katanya, pangkat kapten yang disandangnya dicabut lagi oleh pemerintah karena dengan satu pangkat lebih rendah dia membuat pemerintah membayar beda 100 gulden dalam tunjangan pensiunnya." ungkap Hidskes
Baca Juga: Cerita-Cerita Pilu Tentang Pembantaian Kapten Westerling di Sulawesi Selatan
Loe de Jong dalam artikelnya tentang sejarah Indonesia menggambarkan Kapten Westerling sebagai penjahat perang. Westerling dilukiskan sebagai bajingan, penyanyi opera, pedagang antik, juru bicara perdamaian, komando, pahlawan revolver, suami, ayah, buaya darat.
Laki-laki ini dianggap mampu melakukan kudeta dan karena itu dipantau oleh Binnenlandse Veiligheidsdienst (BVD, Dinas Keamanan Dalam Negeri).
Membantai di Sulawesi Selatan Saat Berusia 27 Tahun
Pada tahun 1946 Westerling berumur 27 tahun dan memiliki pengaruh yang menakjubkan atas semua orang di sekelilingnya. Di masa kejayaan Sulawesi Selatan pengaruh itu bukan main tingginya.
Pasukannya sangat mencintainya dan menceritakan hubungan pribadi yang dimiliki dengan komandan mereka. Pimpinan ketentaraan suka dengan 'fixer' ini, dan Westerling memiliki jalur yang khusus dengan Jenderal Spoor.
"'Westerling menganggap olahraga sangat penting dan karena itu saya seringkali berada di sekitarnya. Di paruh kedua tahun 1946 saya sering mendengarnya berkata: Sebentar mau mampir ke Jenderal Spoor” kata Jef, mantan instruktur olahraga DST, sebagaimana yang dituturkannya pada Maarten Hidskes.
Foto: Kapten Westerling (Wikipedia)
Jenderal Spoor dan semua pejabat militer dan sipil di saat itu berumur pertengahan empat puluhan, dan perbedaan umur dua puluh tahun dengan Westerling yang lebih muda pastinya waktu itu terasa.
Wim dan Peter, salah satu mantan anggota pasukan DST, kepada Maarten Hidskes mengatakan, Westerling tidak pernah menjalani sekolah militer.
"Dia tidak “dalam dinas”, dia adalah dinas. Dia sangat disiplin dan memiliki perhatian terhadap para anak buahnya. Dia tidaklah otoriter. Dia mengundang respek. Dia tahu apa yang dia katakan. Dia beroperasi tidak dari suatu posisi yang nyaman." Ungkap Wim pada Hidskes.
Dalam ingatan Peter, kalau jip Westerling berhenti pada suatu pertikaian di jalan antara pasukan baret hijaunya dengan pasukan baret hitam dari marinir, maka dia turun dari mobil, melepas lencana bintangnya, dan ikut berkelahi.
Westerling juga menghadiri acara pemakaman dari anggota pasukan yang bukan dari kesatuannya, sementara para perwiranya sendiri tidak kelihatan batang hidungnya.
Menurut Herman anggota pasukan DST lainnya, yang terutama penting adalah bahwa Westerling menunaikan tugasnya sebagai suatu permintaan dan bukan sebagai komando.
Di tengah berbagai kekerasan yang terjadi dalam masyarakat di Hindia, Westerling memancarkan ketenangan dan kendali. Orang yang benar di tempat yang tepat.
Wim mengatakan, Westerling punya mata yang tertentu itu. Tatapan matanya menembus. Dia berkata: “Kalau kamu memotong ekor ular maka ular itu masih merayap lebih lanjut. Kamu harus potong kepalanya”?
Menurut Peter, Weterling punya tatapan yang bisa membunuh.
"Kalau saya harus datang untuk laporan, habislah saya. Karena kalau dia menatap, mengerikan!" ungkap Peter. (Buz).
Ikuti perkembangan berita terbaru lainnya melalui channel YouTube tvOneNews:
Load more