Jakarta – Beberapa sumber menyebutkan jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin menjadi titik tolak pemberontakan PKI 1948 atau Peristiwa Madiun. Saat itu banyak kecaman atas keputusannya sebagai Perdana Menteri menandatangani hasil perundingan Renville pada 17 Januari 1948.
Keputusan tersebut berdampak besar bagi Amir Sjarifuddin, protes keras berujung pencopotan atas jabatannya sebagai Perdana Menteri, hal itu pula yang menandai jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin.
Namun Amir tak patah arang, setelah kabinetnya jatuh, ia membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR/PKI) pada Februari 1948 yang terdiri dari PKI, Partai Sosialis (PS), Pesindo, dan Partai Buruh.
Sekretariat Pusat Sayap Kiri atau Front Demokrasi Rakyat (FDR/PKI) yang juga dipelopori oleh D.N Aidit itu mengecam dan menganggap jatuhnya kabinet Amir Sjarifuddin tak sah.
Namun pada 3 Ferbuari 1948, justru dibentuk kabinet baru dengan Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri.
Sementara sayap kiri tetap menolak, Amir Sjarifuddin beserta kelompok-kelompok sayap kiri lainnya tidak setuju dengan kabinet tersebut.
Dalam suasana serba tidak menentu itu kelompok Amir Sjarifuddin makin tersudut, apalagi setelah kelompok Tan Malaka dibebaskan dari penjara oleh pemerintah.
Bahkan harian Murba (harian milik kelompok Tan Malaka) pada tanggal 5 Februai 1948 menyiarkan hasil rapat rahasia yang dilakukan FDR/PKI. Pertikaian kelompok Amir Sjarifuddin dan kelompok Tan Malaka makin tajam. Dan pihak Amir Sjarifuddin mencap kelompok Tan Malaka dengan sebutan kaum komunis Trostkyis.
Beberapa bulan kemudian, Muso seorang tokoh komunis selama 22 tahun tinggal di Uni Soviet pulang ke Indonesia. Tepatnya dia pulang pada tanggal 11 Agustus 1948. Muso adalah tokoh komunis kelahiran Kediri. Selain itu merupakan kawan indekos Soekarno waktu di Surabaya Peneleh VII rumah HOS Tjocroaminoto.
Muso bergerak cepat. Tak lama setelah kepulangannya, pada tanggal 15 Agustus 1948, Muso mengadakan rapat raksasa di alun-alun Madiun dengan tujuan utama propoganda dan mengecam Kabinet Hatta. Dalam pidatonya, Muso dengan pongah mengutuk dan mencaci Soekarno dan Hatta yang ia anggap pemimpin tak becus.
Rapat di alun-alun Madiun itu dihadiri oleh berpuluh-puluh ribu rakyat dari berbagai penjuru Keresidenan Madiun.
Sebelumnya sayap kiri telah mengadakan propaganda pada rakyat akan diadakan ceramah akbar dengan pembicara Nabi Muso dari Moskow yang akan memimpin rakyat ke arah revolusi Indonesia Merdeka.
Sebulan kemudian, tepatnya pada hari Sabtu 18 September 1948 sekitar pukul 03.00 dini hari terdengar tiga letusan pistol di Madiun sebagai isyarat dimulainya perjuangan bersenjata kaum komunis untuk mendirikan Negara Soviet Indonesia.
Tak hanya di Madiun, kekuatan terorganisir dari laskar FDR/PKI yang sudah terbentuk jauh-jauh hari itu juga menguasai daerah-daerah di sekitar Madiun.
Misalnya seperti kesaksian Soewarno yang tinggal di Magetan. Saat itu Soewarno menjadi juru tulis Kabupaten Magetan. Kesaksian itu diperkuat Soeharno yang tinggal di Magetan pula dan ketika itu menjadi kepala bagian otonomi daerah.
Pada hari Minggu 19 September 1948 sekitar pukul 03.30, Soewarno dan Soeharno dipanggil Bupati Magetan Sudibjo. Mereka mendapat tugas untuk mengantar sepucuk surat untuk disampaikan pada Residen Madiun yang isinya meminta bantuan.
Sebab saat itu, suasana di Magetan tak kalah genting dari pada suasana di Madiun. Kelompok FDR/PKI nyaris menguasai wilayah Magetan.
Mereka pun berangkat meski masih gelap, dengan susah payah utusan Bupati Magetan itu pada siang hari tiba di batas Kota Madiun. Tepatnya di bagian barat jembatan Mangunharjo.
“Saya waktu itu sudah beralasan bahwa kakek saya meninggal dunia di Madiun, tetapi mereka tetap melarang saya masuk kota,” kata Soewarno seperti dikutip dari buku Lubang-Lubang Pembantaian (Petualangan PKI di Madiun) yang disusun oleh Maksum dkk.
Meski mereka telah mencoba berbagai cara, mereka tetap tak bisa memasuki kota itu. Kota Madiun benar-benar sudah dikepung dan diblokade. Beruntungnya mereka bertemu Komandan Depo Militer V Kapten Soebirin.
Kapten Soebirin lah yang kemudian melaporkan keadaan di Magetan pada Residen Madiun. Sementara Soewarno dan Suharno akhirnya kembali ke Magetan.
Dalam suasana genting itu, pada Minggu 19 September 1948 siang, menurut Soewarno yang baru tiba dari Madiun, dia melihat di alun-alun Magetan (di depan Kabupaten) beribu-ribu orang berduyun-duyun menyaksikan pertandingan sepakbola antara PS Lawu dari Magetan melawan tim dari Nganjuk.
Ternyata pertandingan itu sendiri rupanya juga merupakan taktik. Seusai pertandingan, ribuan orang itu tidak pulang. Bahkan jumlah mereka bertambah banyak dan akhirnya dengan mudah mengepung Kabupaten.
Saat itulah FDR/PKI melancarkan aksinya. Pejabat dan tokoh-tokoh penting yang bukan anggota FDR/PKI ditangkap oleh FDR/PKI. Misalnya Kiai Sulaiman Zuhdi Effendi dari Pesantren Mojopura, dia diculik oleh laskar FDR/PKI.
Begitu pula dengan Wiro Sumarto ketika itu dia menjabat carik Desa Bulukerto. Seperti disebutkan dalam buku Lubang-Lubang Pembantaian (Petualangan PKI di Madiun), dia juga ditangkap oleh FDR/PKI dan digiring ke Kabupaten, dia melihat Bupati Soedibjo, dan tokoh-tokoh lain menjadi tawanan FDR/PKI. Menurut Wiro beberapa orang diantaranya terbunuh dalam peristiwa itu.
Load more