Penghujung Mei 1998, massa gabungan dari mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat di berbagai wilayah di tanah air terus menggelar aksi, menuntut pengunduran diri Presiden Soeharto. Sejumlah kerusuhan massa terjadi di beberapa kota di Indonesia, khususnya Ibu Kota Jakarta.
"Saya membaca dan menafsirkan keadaan demikian, sebagai tuntutan rakyat untuk memperoleh 'kebebasan total'. Memang, tiap manusia membutuhkan kebebasan di atas kemerdekaan atau kemerdekaan di atas kebebasan. Namun, bukankah kebebasan harus dibarengi dengan tanggung jawab? Dan tanggung jawab harus diimbangi oleh kewajiban?" ungkap Habibie, seperti yang Ia tulis dalam bukunya Detik-detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.
"Dengan segala respek terhadap mereka yang berdemo untuk membawa aspirasi rakyat, saya tidak benarkan nasib dan masa depan bangsa ini ditentukan oleh gerakan atau demo di jalan, berapa juta pun mereka yang berdemonstrasi di jalan." lanjutnya.
Baca Juga: Detik-Detik yang Menentukan, Langkah Habibie yang Tak Boleh Diketahui Siapapun, Bahkan Ainun
Pagi itu, pukul 06.50 sampai 07.25 pada 21 Mei 1998, Panglima ABRI Jenderal Wiranto datang mengahadap Wakil Presiden BJ Habibie, melaporkan keadaan di lapangan yang tidak menentu dan gerakan-gerakan demonstrasi yang terus meningkat.
Jenderal Wiranto juga melaporkan pada Habibie, bahwa ia telah menerima inpres yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto untuk bertindak demi keamanan dan stabilitas negara, jikalau keadaan berkembang menjadi khaos dan tidak terkendali.
Load more