Mantan Pimpinan KPK Tegaskan Kasus Aswad Sulaiman Sudah Cukup Bukti Sejak 2017
- Antara
Jakarta, tvOnenews.com — Penghentian penyidikan kasus dugaan korupsi mantan Bupati Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Aswad Sulaiman, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memantik perhatian publik. Mantan pimpinan KPK periode 2015–2019, Laode Muhammad Syarif, menegaskan bahwa perkara tersebut sejatinya telah memiliki kecukupan bukti sejak Aswad ditetapkan sebagai tersangka pada 2017.
Laode menyampaikan bahwa pada saat penetapan tersangka dilakukan, unsur pembuktian dugaan suap telah terpenuhi. Menurutnya, proses penyidikan kala itu bahkan telah memasuki tahap lanjutan.
“Ketika ditetapkan tersangka, sudah cukup bukti suapnya,” ujar Laode saat dihubungi di Jakarta, Minggu (28/12/2025).
Ia menjelaskan, pekerjaan rumah penyidik KPK saat itu tinggal menghitung besaran kerugian negara yang timbul akibat perbuatan Aswad Sulaiman. Proses tersebut, kata Laode, dilakukan bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Penyidik menyampaikan bahwa kerugian negara sedang dihitung oleh BPK,” katanya.
Pernyataan Laode ini menjadi sorotan lantaran bertolak belakang dengan keputusan KPK yang pada 26 Desember 2025 mengumumkan penghentian penyidikan perkara Aswad Sulaiman. Dalam pengumuman resminya, KPK menyebutkan bahwa penghentian dilakukan karena tidak ditemukan kecukupan alat bukti.
Sebagai informasi, KPK menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka pada 4 Oktober 2017. Saat itu, Aswad yang pernah menjabat sebagai Penjabat Bupati Konawe Utara periode 2007–2009 dan Bupati Konawe Utara periode 2011–2016, diduga terlibat korupsi dalam penerbitan izin kuasa pertambangan eksplorasi dan eksploitasi, serta izin usaha pertambangan operasi produksi di Kabupaten Konawe Utara sepanjang 2007–2014.
KPK menduga Aswad menerbitkan izin-izin pertambangan tersebut secara melawan hukum. Akibat perbuatannya, negara disebut mengalami kerugian sekurang-kurangnya Rp2,7 triliun. Kerugian itu berasal dari penjualan hasil produksi nikel yang diduga diperoleh melalui proses perizinan bermasalah.
Tak hanya itu, KPK juga menduga Aswad menerima suap dengan total nilai hingga Rp13 miliar. Uang tersebut diduga berasal dari sejumlah perusahaan yang mengajukan izin kuasa pertambangan selama periode 2007–2009.
Kasus ini sempat berjalan panjang namun tak kunjung berujung di pengadilan. Pada 18 November 2021, KPK bahkan memeriksa Andi Amran Sulaiman—yang kini menjabat sebagai Menteri Pertanian—sebagai saksi. Amran diperiksa dalam kapasitasnya sebagai Direktur PT Tiran Indonesia, khususnya terkait kepemilikan tambang nikel di Konawe Utara.
Upaya penegakan hukum kembali mencuat pada 14 September 2023. Saat itu, KPK berencana menahan Aswad Sulaiman. Namun, rencana tersebut batal dilaksanakan karena Aswad dilaporkan dilarikan ke rumah sakit dengan alasan kesehatan.
Hingga akhirnya, pada akhir Desember 2025, KPK memutuskan untuk menghentikan penyidikan kasus tersebut. Keputusan ini menimbulkan tanda tanya besar di tengah publik, mengingat nilai kerugian negara yang fantastis serta lamanya proses hukum berjalan.
Pernyataan Laode Muhammad Syarif memperkuat diskursus publik soal konsistensi dan kesinambungan penanganan perkara besar di KPK. Sebagai mantan pimpinan lembaga antirasuah, pandangannya dinilai merepresentasikan kondisi internal KPK pada periode awal penanganan perkara tersebut.
Meski demikian, hingga kini KPK belum memberikan penjelasan rinci terkait perbedaan penilaian alat bukti antara penyidikan sebelumnya dan keputusan penghentian perkara. Publik pun menanti transparansi lebih lanjut agar penghentian kasus bernilai triliunan rupiah ini tidak menimbulkan preseden buruk dalam pemberantasan korupsi.
Kasus Aswad Sulaiman menjadi pengingat bahwa penanganan perkara korupsi berskala besar menuntut kepastian hukum, konsistensi penegakan aturan, serta kejelasan pertanggungjawaban kepada publik. (ant/nsp)
Load more