Alarm Bahaya, Densus 88 Polri dan KPAI Soroti Paparan Radikalisme serta Kekerasan pada Anak
- ANTARA
Untuk upaya pemulihan, Densus 88 melakukan konseling psikologis dan pendampingan rohani secara intensif bagi anak-anak yang terlibat.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah, menyampaikan bahwa banyak anak yang kini membutuhkan perhatian khusus karena sudah terlibat atau terpapar paham radikalisme dan ekstremisme.
“Mereka mempunyai pola pikir yang hilang dan bahkan sudah ada yang melakukan tindakan kekerasan,” terang Margaret.
Lebih lanjut, Margaret menjelaskan bahwa masa perkembangan anak sangat rentan terhadap pengaruh negatif, terutama karena mereka juga berada di lingkungan yang rawan kekerasan. Margaret mengungkap, rumah yang semestinya menjadi tempat aman justru sering menjadi lokasi berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Selain itu, Margaret juga menyoroti kondisi di sekolah, tempat anak-anak seharusnya mendapatkan perlindungan, namun tetap rentan mengalami bully, kekerasan seksual, dan kejahatan berbasis siber.
Bahkan Margaret mengungkapkan data mencengangkan sepanjang tahun 2025, yakni sekitar 25 anak memilih bunuh diri karena mengalami bully.
Kemudian, Margaret juga menyinggung kasus seorang anak yang membakar pesantren karena menjadi korban perundungan, serta kasus di SMAN 17 dan SMAN 72 yang menunjukkan adanya indikasi bully sebagai faktor pemicu tindakan ekstrem. Dampak psikologis pada korban bully sangat berat.
“Mereka merasa tidak punya masa depan dan mengalami depresi berlebihan,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa anak korban bully memiliki kerentanan psikologis, seperti depresi, kecemasan, perasaan tidak dihargai, hingga merasa dikucilkan secara sosial. Maka dari itu, Margaret menegaskan bahwa perlindungan anak harus dijalankan secara menyeluruh.
“Perlindungan anak adalah kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,” tutupnya.
Dengan adanya FGD ini, diharapkan bisa membangun pemahaman komprehensif serta mendorong kolaborasi aktif seluruh pemangku kepentingan, sehingga tercipta lingkungan sekolah yang aman, nyaman, dan bebas dari ancaman maupun tindakan berbahaya. (ars/raa)
Load more