Alarm Bahaya, Densus 88 Polri dan KPAI Soroti Paparan Radikalisme serta Kekerasan pada Anak
- ANTARA
Jakarta, tvOnenews.com - Dentasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memaparkan kondisi mutakhir mengenai kerentanan anak terhadap pengaruh radikalisme, kekerasan, serta tekanan psikologis akibat bully. Hal ini menjadi perhatian serius setelah sejumlah kasus terbaru yang melibatkan pelajar terungkap.
Hal ini doungkapkan dalam acara Focus Group Discussion (FGD) terkait Dampak Bullying terhadap Penyebaran Paham Ekstremisme dan Radikalisme di kalangan pelajar, yang digelar di Jakarta.
Kasubdit sidik 1 Ditsidik Densus 88 AT, Kombes Pol Sri Astuti Ningsih, menjelaskan bahwa tindakan pengamanan yang dilakukan aparat tidak hanya bertujuan menegakkan hukum, tetapi juga sebagai langkah pencegahan agar anak-anak dan remaja tidak terlibat dalam aksi teror.
“Pengamanan kami dilakukan dalam upaya pencegahan supaya mereka tidak melakukan aksi,” kata Astuti, dalam keterangannya, Jumat (28/11/2025).
Lebih lanjut Astuti menerangkan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 mudah dipahami. Namun menurutnya, memahami pola terorisme saat ini tidak sederhana, terlebih karena “gen z sekarang sangat sulit ditebak”.
Kemudian Astuti menegaskan pentingnya pemulihan terhadap anak-anak yang sudah terpapar radikalisme sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Aspek hukum dalam perkara terorisme sudah jelas, tetapi tantangan terbesar justru terletak pada deteksi dini.
“Yang sulit adalah bagaimana kita mendeteksi sejak awal,” terang Astuti.
Sementara itu, Astuti juga menyinggung fenomena yang terjadi di SMAN 72 Jakarta sebagai contoh nyata betapa motif ekstremisme dapat muncul dalam bentuk sikap anarkis dan penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang menimbulkan rasa takut di masyarakat.
Kemudian Astuti mengungkap perkembangan terbaru penegakan hukum, Densus 88 telah menangkap lima tersangka yang menyebarkan konten bermuatan radikalisme dan ekstremisme dengan target utama anak-anak.
“Ada 110 anak di 23 provinsi yang terpapar radikalisme atau ekstremisme,” jelasnya.
Ia menyebutkan bahwa sejumlah anak bahkan telah berbaiat kepada pimpinan kelompok radikal tertentu, melakukan uji coba bom, berdiskusi mengenai senjata, hingga merencanakan penyerangan terhadap kantor TNI-Polri dan kelompok masyarakat tertentu.
Aktivitas simulasi kekerasan melalui game perang online seperti Roblox bahkan digunakan sebagai media i’dad atau persiapan, dengan membuat skenario sebagai pelaku teror yang menyerang aparat dan fasilitas pemerintah.
Load more