Tarif LRT Jakarta Rp60 Ribu untuk Rute Velodrome-Manggarai, FPPJ Nilai Tidak Pro Rakyat!
- Istimewa
Jakarta, tvOnenews.com - Forum Pemuda Peduli Jakarta (FPPJ) soroti kebijakan PT LRT Jakarta yang menetapkan tarif baru sebesar Rp60 ribu per perjalanan untuk rute Velodrome–Manggarai.
Rute Velodrome-Manggarai ditargetkan beroperasi penuh pada Agustus 2026 nanti.
Organisasi tersebut menilai langkah ini dilakukan secara sepihak, tanpa kajian menyeluruh maupun melibatkan publik dan lembaga terkait.
Sebelumnya, Direktur Utama PT LRT Jakarta, Roberto Akyuwen, menyampaikan bahwa tarif baru itu ditetapkan karena adanya peningkatan utilisasi dan efisiensi ekonomi per penumpang.
- Istimewa
Menurutnya, harga tiket Rp60 ribu dianggap wajar karena bisa mengurangi beban subsidi dari pemerintah yang selama ini mencapai Rp55 ribu per penumpang.
“Karena utilisasi kereta lebih tinggi, jadi per penumpang ekonominya sudah Rp60 ribu. Itu juga mengurangi subsidi. Mudah-mudahan subsidi semakin tipis, dengan catatan laba meningkat,” kata Roberto dalam wawancara dengan Tempo, 30 Oktober 2025.
Namun, pernyataan tersebut justru menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan masyarakat, salah satunya Forum Pemuda Peduli Jakarta (FPPJ) yang menilai keputusan itu tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi warga dan bertentangan dengan semangat pengembangan transportasi publik berkeadilan.
Dalam pernyataannya, FPPJ menegaskan bahwa penentuan tarif transportasi publik seharusnya melalui kajian komprehensif dan keputusan bersama lintas lembaga, bukan hanya berdasarkan perhitungan internal perusahaan operator.
“Kenaikan tarif tidak bisa serta-merta dilakukan tanpa dasar kajian yang matang dan keputusan bersama. Harus berkaca pada Transjakarta yang tidak serta-merta menetapkan tarif baru karena masih mempertimbangkan subsidi dan kemampuan masyarakat,” kata Ketua umum FPPJ Endriyansyah dalam keterangan tertulisnya, Kamis (13/11/2025).
FPPJ menilai, tarif sebesar Rp60 ribu per perjalanan justru memberatkan masyarakat, apalagi di tengah situasi ekonomi yang belum stabil.
“Kalau tarif setinggi itu diberlakukan, sama saja membebani rakyat. Padahal, transportasi publik seharusnya menjadi solusi untuk mengurangi pengeluaran warga, bukan sebaliknya,” lanjut FPPJ.
FPPJ menegaskan bahwa pemerintah dan operator transportasi seharusnya menjadikan pembangunan sistem transportasi massal sebagai alat pengurai kemacetan dan penarik minat masyarakat agar beralih dari kendaraan pribadi.
“Masifnya pembangunan LRT dan transportasi umum lain seharusnya menjadi indikator keberhasilan kota dalam mengatasi kemacetan. Tapi kalau tarifnya terlalu tinggi, publik malah enggan menggunakan transportasi umum dan kembali memilih kendaraan pribadi,” ujar FPPJ.
Menurut mereka, kondisi tersebut justru berpotensi memperburuk kemacetan di Jakarta, terutama jika masyarakat kelas menengah tidak melihat nilai ekonomis dalam beralih ke transportasi publik.
Selain menyoroti aspek tarif, FPPJ juga mendorong adanya transparansi dalam pengelolaan subsidi dan proses pengambilan keputusan di sektor transportasi publik.
Mereka menilai bahwa subsidi pemerintah seharusnya menjadi alat untuk menekan harga tiket agar tetap terjangkau bagi masyarakat luas.
“Ada banyak aspek yang harus diperhatikan, seperti keberlanjutan subsidi pemerintah, target pengurangan kemacetan, serta kemampuan masyarakat untuk beradaptasi. Semua ini harus dibahas secara terbuka dan diputuskan bersama, bukan sepihak,” kata Ryan sapaan akrabnya.
Untuk diketahui, LRT Jakarta mulai beroperasi pada 1 Desember 2019 sebagai bagian dari sistem transportasi massal terintegrasi di Ibu Kota.
Moda ini dirancang untuk mendukung penyelenggaraan Asian Games 2018 dan menghubungkan kawasan Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara, hingga Velodrome, Pulogadung, Jakarta Timur dengan panjang lintasan 5,8 kilometer.
LRT Jakarta dioperasikan oleh PT LRT Jakarta, anak usaha PT Jakarta Propertindo (Jakpro)yang setiap tahun mendapatkan alokasi dana Penyertaan Modal Pemerintah Daerah (PMPD), dan menggunakan rangkaian kereta buatan Hyundai Rotem asal Korea Selatan.
Dalam sekali jalan, satu rangkaian mampu menampung 270 penumpang, namun tingkat okupansi saat ini baru mencapai sekitar 10 persen dari total kapasitas.
Pada tahun 2024, LRT Jakarta mencatat laba kotor sebesar Rp103 miliar, meningkat 1,9 persen dari tahun sebelumnya, dengan pendapatan Rp265,2 miliar. Namun, 94 persen pendapatan tersebut masih ditopang subsidi pemerintah.
FPPJ berharap agar kebijakan terkait tarif transportasi publik tidak hanya berorientasi pada efisiensi bisnis, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial dan keberlanjutan.
“Transportasi publik adalah hak warga kota. Jika tarifnya terlalu tinggi, maka tujuannya sebagai solusi kemacetan dan mobilitas terjangkau akan gagal tercapai,” tutup FPPJ dalam pernyataannya. (muu)
Load more