Tarif LRT Jakarta Rp60 Ribu untuk Rute Velodrome-Manggarai, FPPJ Nilai Tidak Pro Rakyat!
- Istimewa
“Masifnya pembangunan LRT dan transportasi umum lain seharusnya menjadi indikator keberhasilan kota dalam mengatasi kemacetan. Tapi kalau tarifnya terlalu tinggi, publik malah enggan menggunakan transportasi umum dan kembali memilih kendaraan pribadi,” ujar FPPJ.
Menurut mereka, kondisi tersebut justru berpotensi memperburuk kemacetan di Jakarta, terutama jika masyarakat kelas menengah tidak melihat nilai ekonomis dalam beralih ke transportasi publik.
Selain menyoroti aspek tarif, FPPJ juga mendorong adanya transparansi dalam pengelolaan subsidi dan proses pengambilan keputusan di sektor transportasi publik.
Mereka menilai bahwa subsidi pemerintah seharusnya menjadi alat untuk menekan harga tiket agar tetap terjangkau bagi masyarakat luas.
“Ada banyak aspek yang harus diperhatikan, seperti keberlanjutan subsidi pemerintah, target pengurangan kemacetan, serta kemampuan masyarakat untuk beradaptasi. Semua ini harus dibahas secara terbuka dan diputuskan bersama, bukan sepihak,” kata Ryan sapaan akrabnya.
Untuk diketahui, LRT Jakarta mulai beroperasi pada 1 Desember 2019 sebagai bagian dari sistem transportasi massal terintegrasi di Ibu Kota.
Moda ini dirancang untuk mendukung penyelenggaraan Asian Games 2018 dan menghubungkan kawasan Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara, hingga Velodrome, Pulogadung, Jakarta Timur dengan panjang lintasan 5,8 kilometer.
LRT Jakarta dioperasikan oleh PT LRT Jakarta, anak usaha PT Jakarta Propertindo (Jakpro)yang setiap tahun mendapatkan alokasi dana Penyertaan Modal Pemerintah Daerah (PMPD), dan menggunakan rangkaian kereta buatan Hyundai Rotem asal Korea Selatan.
Dalam sekali jalan, satu rangkaian mampu menampung 270 penumpang, namun tingkat okupansi saat ini baru mencapai sekitar 10 persen dari total kapasitas.
Pada tahun 2024, LRT Jakarta mencatat laba kotor sebesar Rp103 miliar, meningkat 1,9 persen dari tahun sebelumnya, dengan pendapatan Rp265,2 miliar. Namun, 94 persen pendapatan tersebut masih ditopang subsidi pemerintah.
FPPJ berharap agar kebijakan terkait tarif transportasi publik tidak hanya berorientasi pada efisiensi bisnis, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial dan keberlanjutan.
“Transportasi publik adalah hak warga kota. Jika tarifnya terlalu tinggi, maka tujuannya sebagai solusi kemacetan dan mobilitas terjangkau akan gagal tercapai,” tutup FPPJ dalam pernyataannya. (muu)
Load more