Tragedi Ledakan SMAN 72 Jakarta Utara, DPR RI Desak Pembentukan Tim Respon Krisis Sekolah
- Tangkapan layar
Jakarta, tvOnenews.com - Peristiwa ledakan SMAN 72 Jakarta Utara, Kelapa Gading turut menyisakan duka mendalam hingga sorotan tajam publik.
Ditambah, dugaan pelaku ledakan merupakan siswa SMAN 72 Jakarta Utara yang menjadi korban bullying semakin menambah duka di tengah jatuhnya sejumlah korban luka.
Anggota DPR RI Fraksi PDIP, Selly Andriany Gantina mengatakan tragedi ini sebagai peringatan serius.
- Istimewa
Ia juga menyoroti pandangan KPAI yang menilai pelaku kurang mendapatkan perhatian dari orang tua dan sekolah, namun menegaskan bahwa masalah tersebut harus dilihat dalam konteks tanggungjawab sistemik.
“Masalahnya bukan hanya di rumah atau di sekolah, tapi di ekosistem perlindungan anak yang belum bekerja optimal. Anak kehilangan ruang aman untuk bicara, kehilangan telinga yang mau mendengar,” kata Selly.
Selly menjelaskan banyak anak kini melampiaskan rasa terasing dan kegelisahan ke ruang digital.
Bahayanya, banyak konten ekstrem yang berseliweran di ruang digital hingga bisa menjerumuskan sang anak.
“Jika sekolah tidak ramah dan rumah tidak menjadi tempat curhat, maka media sosial mengambil alih fungsi pendidikan emosional anak. Itu yang berbahaya,” jelasnya.
Selly menegaskan serangkaian langkah pengobatan lintas aspek dalam penanganan pasca peristiwa ledakan yang terjadi harus segera dilaksanakan.
Ia menilai, trauma akibat peristiwa tersebut bersifat komunal dan berdampak pada seluruh lingkungan sekolah.
“Anak yang tidak terluka pun bisa trauma. Guru, staf, hingga orang tua juga terdampak secara psikis. Maka, pemulihan psikotraumatik harus dilakukan menyeluruh, bukan selektif,” ujarnya.
Di sisi lain, Selly mendorong Kementerian PPPA, Dinas Pendidikan, dan KPAI untuk segera membentuk Tim Respon Krisis Sekolah yang melibatkan psikolog, guru BK, serta perwakilan orang tua.
Tim tersebut diharapkan mampu melakukan asesmen psikologis dan menyusun program pemulihan kolektif pasca-trauma di lingkungan sekolah.
Ia juga menyoroti perlunya evaluasi menyeluruh terhadap konsep Sekolah Ramah Anak, yang dinilai belum memiliki indikator terukur dan mekanisme pengawasan yang kuat.
“Ramah anak bukan sekadar slogan di dinding sekolah. Itu harus nyata dalam sistem: ada kanal aduan yang aman, ada pendidikan anti-bullying, serta ruang dialog antara anak, guru, dan orang tua,” ujarnya.
Ia menambahkan, pentingnya literasi digital dan komunikasi empatik bagi orang tua, agar mampu mengenali tanda-tanda distress pada anak.
“Banyak orang tua tidak sadar, perubahan kecil pada perilaku anak bisa menjadi sinyal bahaya. Karena itu, mereka perlu dibekali kemampuan komunikasi yang peka,” pungkasnya. (raa)
Load more