INDEF Ingatkan Raperda KTR yang Eksesif Bisa Perlebar Kesenjangan Ekonomi Rakyat
- Antara
Jakarta, tvOnenews.com - Di tengah penolakan berbagai elemen masyarakat, Panitia Khusus (Pansus) DPRD DKI Jakarta bersama eksekutif merampungkan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) untuk selanjutnya diberikan kepada Badan Pembentukan Perda (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta.
Sebelumnya selama proses pembahasan di Pansus DPRD DKI Jakarta, Raperda KTR tersebut menuai beragam masukan dan protes dari berbagai kalangan terkait dampak atas penerapan zona pelarangan penjualan rokok radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Bahkan, pelarangan pemajangan, perluasan kawasan tanpa rokok hingga pasar tradisional, pasar rakyat hingga kewajiban memiliki izin berusaha khusus bagi penjualan rokok.
“Alhamdulillah, per hari ini, tanggal 30 Oktober, kami bersama Pansus tuntaskan pembahasan di level Pansus, menghasilkan 27 Pasal 9 Bab. Kalau pansus sudah selesai, lalu nanti akan diserahkan kepada Bapemperda dan Rapim, kami akan laporkan hasil kerjanya. Setelah itu nanti ada beberapa tahapan juga, ada fasilitasi Kemendagri lalu ada rapat paripurna terkait hasil pansus ini,” ujar Ketua Pansus Farah Savira yang mengungkapkan hal itu usai finalisasi Ranperda KTR di Gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis (30/10/2025).
Farah juga menegaskan bahwa pasal pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak tetap dipertahankan dalam draf Raperda KTR.
"Jadi secara aturan kita menegaskan tidak, tapi nanti kalau secara persyaratan dan penegasan di Pergub itu juga bisa,” ujar Farah.
Polemik Raperda KTR DKI Jakarta yang dibahas Pansus dan ramai menuai penolakan oleh pedagang, juga menjadi perhatian bagi para pembuat kebijakan.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), M. Rizal Taufikurahman menilai berbagai pelarangan tersebut bisa menekan aktivitas pedagang kecil dan memutus rantai ekonomi rakyat.
Pasal-pasal pelarangan penjualan dalam Raperda KTR DKI Jakarta, menurut pandangan Rizal, mengabaikan realitas sosial-ekonomi urban yang selama ini bertumpu pada perputaran sektor informal.
"Jangan lupa bahwa pedagang kecil merupakan bantalan ekonomi Jakarta. Jika larangan penjualan diterapkan, efek domino negatifnya mencakup turunnya omzet, lesunya daya beli, dan meningkatnya pengangguran terselubung. Kondisi ini bisa menekan stabilitas sosial dan memperlebar kesenjangan ekonomi di tingkat bawah," papar Rizal.
Tak sampai di situ, proyeksi hilangnya pendapatan daerah hingga 50% dari sektor pertembakauan yang diakui oleh Pansus Ranperda KTR DPRD DKI Jakarta, sebut Rizal, harusnya menjadi sinyal fiskal serius bagi para pembuat kebijakan di DKI Jakarta.
Apalagi di tengah efisiensi transfer dana dari pusat, pemerintah daerah, termasuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu menempuh strategi transisi fiskal yang gradual, di antaranya memaksimalkan cukai hasil tembakau (CHT) untuk pemberdayaan dan pembangunan.
"Jadi, bukan langsung memangkas sumber penerimaan tanpa pengganti yang siap. Oleh karena itu, Ranperda KTR seharusnya mengedepankan keseimbangan antara kesehatan publik dan keberlanjutan ekonomi rakyat," ujarnya.
Rizal juga menambahkan, Raperda KTR DKI Jakarta harus dibahas dengan pendekatan yang adaptif dan proporsional lebih efektif. "Yang berfokus pada edukasi dan kawasan publik bebas rokok, namun tetap beri ruang legal bagi usaha mikro agar kebijakan ini inklusif dan tidak menimbulkan eksklusi ekonomi baru," tutur Rizal.
Diketahui sebelumnya, Ketua Dewan Pertimbangan Wilayah Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (DPW APPSI) DKI Jakarta Ngadiran, mengaskan pasal-pasal pelarangan penjualan harus dihapus karena akan berdampak signifikan bagi penurunan pendapatan pedagang pasar.
"Saat ini, rata-rata omzet pedagang pasar sudah turun sampai 60 persen. Semua pelarangan dalam Raperda KTR itu sangat menyusahkan pedagang kecil, pengecer, asongan, dan lainnya. Kami sebagai wadah pedagang pasar tradisional dan UMKM, minta betul-betul agar pasal tersebut dibatalkan," jelas Ngadiran. (aag)
Load more