Transisi Energi, Transisi Masa Depan: Mewujudkan Pertumbuhan Tanpa Merusak Alam
- Istimewa
- Istimewa
Dalam diskusi tersebut, Satya mengungkap secara global sektor pelayaran menyumbang sekitar 3% dari total emisi yang dihasilkan. Sementara di Indonesia, pada tahun 2020 sektor transportasi secara keseluruhan menghasilkan 126,42 juta ton emisi karbon dioksida.
Sebagai upaya kontribusi dunia usaha dalam transisi menuju net zero emissions, PIS telah melakukan beberapa strategi.
“Kami telah melakukan pengembangan bahan bakar baru yang lebih netral karbon seperti methanol dan e-methanol serta mengoptimalkan rute perjalanan kapan untuk mengurangi waktu tempuh dan konsumsi bahan bakar,” ungkap Satya.
Dalam rangkaian acara IYSF 2025, Shinta Widjaja Kamdani selaku Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Pembangunan Manusia, Kebudayaan, dan Pembangunan Berkelanjutan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dan pencapaian net zero emissions bukan hal yang berlawanan melainkan dua sisi dari satu visi yang sama.
Bagaimana para pelaku usaha dapat menciptakan kesejahteraan tanpa merusak alam, Shinta menekankan pentingnya kebijakan hijau yang dapat menciptakan lapangan kerja dan menarik investasi.
“Dengan kolaborasi seluruh pihak, kita bisa membuat energi bersih tidak hanya mungkin tapi juga bisa terjangkau dan bermanfaat untuk semua. Keberlanjutan tidak berarti jika hanya dinikmati oleh segelintir orang. We no longer just talk about profit, we talk about triple bottom line; people, planet, and profit,” pesan Shinta saat membuka IYSF 2025.
Terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang seharusnya sejalan dengan transisi menuju energi bersih, Presiden Direktur PT VKTR Teknologi Mobilitas, Tbk Gilarsi W. Setijono juga memberikan pesan mendalam terkait esensi kesejahteraan yang mencakup keadlian sosial, keberlanjutan lingkungan, dan keseimbangan spiritual yang kerap terabaikan.
Gilarsi menegaskan bahwa perubahan menuju ekonomi berkeadilan di tengah transisi menuju target net zero emissions harus dimulai dari kesadarakan kolektif dan mulai membangun budaya ekonomi yang berpijak pada kebersamaan, keadilan, serta tanggung jawab moral terhadap bumi untuk generasi mendatang.
“Saat ini sistem ekonomi global semakin timpang, dimana 1 persen populasi dunia menguasai 46 persen kekayaan global. Ini lebih tinggi dari masa kolonial. Kita harus kembali pada fondasi ekonomi Indonesia yang mengutamakan kooperatif yang mengajarkan makna cukup, menahan keserakahan. Krisis iklim dan ketimpangan sosial adalah hasil dari ekonomi yang digerakan oleh keserakahan,” tegas Gilarsi.
Load more