Novel Baswedan Buka Suara soal Kasus Pemerasan Wamenaker Noel: Amnesti Tak Berlaku untuk Koruptor
- Nadia Putri Rahmani-Antara
Jakarta, tvOnenews.com - Kasus dugaan pemerasan dalam proses penerbitan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) oleh Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer alias Noel menuai sorotan dari banyak pihak.
Kali ini, mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, angkat bicara.
Novel secara tegas mengkritik permintaan amnesti yang diajukan oleh Wamenaker Noel dalam perkara yang sedang diselidiki oleh KPK tersebut.
Menurutnya, permintaan amnesti untuk pelaku korupsi adalah bentuk kekeliruan serius dalam memahami hukum dan prinsip keadilan.
“Sejak awal, penggunaan amnesti untuk kasus korupsi adalah kesalahan,” ujar Novel, Senin (25/8).
“Karena amnesti hanya untuk kasus pidana yang berhubungan dengan politik,"imbuhnya
Novel menegaskan bahwa korupsi adalah perbuatan yang bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mengkhianati negara dan rakyat.
Menurutnya, pejabat publik yang melakukan korupsi berarti melanggar amanah serta sumpah jabatan yang telah diucapkan saat dilantik.
“Korupsi adalah perbuatan berkhianat terhadap negara, dengan melanggar amanah atau sumpah jabatan. Sehingga korupsi merupakan kejahatan serius,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa menganggap korupsi sebagai kejahatan biasa yang bisa diselesaikan lewat pengampunan hukum seperti amnesti justru berbahaya dan menciptakan preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.
Amnesti Bisa Jadi Alat Impunitas
Menurut Novel, jika paradigma keliru ini dibiarkan, akan timbul keberanian dari para pelaku korupsi untuk meminta hak-hak luar biasa seperti amnesti dari presiden.
Padahal, pemberian amnesti bagi koruptor sejatinya mencederai semangat pemberantasan korupsi yang selama ini diperjuangkan oleh banyak pihak.
“Adanya kesalahan penggunaan amnesti dan menganggap korupsi sebagai kejahatan biasa, maka akan membuat orang berani meminta Presiden untuk memberikan hak amnesti atau hak yang lain kepadanya,” ujar Novel.
"Padahal itu dilakukan dalam kaitannya dengan kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh dirinya,"tambahnya.
Bagi Novel, kasus Noel adalah momentum penting untuk menegaskan bahwa korupsi tidak bisa ditawar atau dinegosiasikan lewat jalur politis.
“Kalau ada pejabat minta amnesti untuk kasus korupsi, itu tandanya dia tidak merasa bersalah secara moral. Padahal ini soal pengkhianatan terhadap kepercayaan publik,” pungkasnya.
KPK Yakin Presiden Prabowo Tak akan Beri Amnesti
Di sisi lain, KPK secara tegas menyatakan bahwa proses hukum harus tetap berjalan, dan permintaan amnesti tersebut dinilai prematur.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menilai bahwa amnesti bukanlah jalan keluar dari proses hukum yang masih berjalan.
“Amnesti itu hak prerogatif presiden. Tapi ya sebaiknya yang bersangkutan tidak sedikit-sedikit minta amnesti begitu ya,” ujar Budi kepada wartawan.
KPK menegaskan bahwa kasus pemerasan ini berdampak besar terhadap masyarakat dan dunia usaha. Tarif resmi sertifikasi K3 yang seharusnya hanya sekitar Rp200 ribu, diduga dipatok hingga Rp6 juta oleh oknum pejabat.
“Kalau kita lihat, masyarakat sangat dirugikan dengan adanya tarif yang harus dibayar jauh melebihi standar tarif PNBP. Ada yang dibayarkan perusahaan, tapi juga dari iuran tenaga kerja. Ini sangat merugikan, terlebih UMR kita masih rendah,” tambah Budi.
Latar Belakang Kasus
Kasus ini bermula dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap sejumlah pejabat Kementerian Ketenagakerjaan, termasuk pejabat pelaksana sertifikasi K3.
Dugaan pemerasan tersebut menyeret nama Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer alias Noel. Sejauh ini, KPK telah menetapkan 11 tersangka dalam perkara ini.
KPK menyatakan masih mendalami aliran dana dan tidak menutup kemungkinan untuk memeriksa Menteri Ketenagakerjaan Yassierli jika ditemukan indikasi pembiaran atau keterlibatan dalam kasus tersebut.
(rpi/ree)
Load more