Cuma Satu Harapan Pedagang Pasar Hewan Barito: Temui Kami, Pak Gubernur
- tvOnenews.com/Rika Pangesti
Jakarta, tvonenews.com - Di antara deretan kios burung yang sudah puluhan tahun berdiri di kawasan Barito, Jakarta Selatan, suara-suara keresahan terdengar semakin nyaring.
Bukan karena penjualan yang makin lesu atau pelanggan yang makin jarang datang, tapi karena satu hal yang belum terjadi hingga kini: pertemuan dengan Gubernur Jakarta.
"Yang kami minta cuma satu: bertemu dan bicara baik-baik. Duduk bersama cari jalan tengah, bagaimana solusinya, ajak ngobrol pedagang, pihak yang terdampak. Jangan langsung gusur,” ujar Yuliyana (45), pedagang sekaligus pengurus Paguyuban Pedagang Pasar Burung Barito, Jakarta Selatan.
Taman Boleh Direvitalisasi, Tapi Jangan Singkirkan Kami
Wacana proyek penggabungan Taman Barito, Taman Ayodya, dan Taman Langsat menjadi satu kawasan ruang terbuka hijau memang mendapat sambutan positif dari para pedagang. Tidak ada yang menolak ruang hijau.
- tvOnenews.com/Rika Pangesti
Namun, proyek ini menjadi momok saat mereka tahu pasar tempat mereka menggantungkan hidup akan terdampak.
“Kita enggak pernah masalah taman mau dijadikan satu. Bagus malah. Tapi kenapa harus gusur kami? Kita di sini gak ganggu siapa-siapa. Kan bisa dicarikan solusi terbaik," tegas Yuliyana, yang sudah berdagang sejak 2011.
Yang Belum Terjadi: Suara Rakyat Dihindari?
Tanggal 8 Agustus, seremoni ground breaking atau peletakan batu pertama proyek taman sudah dilakukan. Gubernur Jakarta, Pramono Anung hadir. Tapi pedagang yang berada tak jauh dari lokasi acara, bahkan tak mendapat kesempatan bertemu.
“Kita di sini kok. Tapi enggak ditemui. Padahal ini soal hidup kita,” ujar salah satu pedagang lainnya.
Diketahui, pada saat seremoni peletakan batu pertama yang dihadiri oleh Gubernur Jakarta, Pramono Anung beserta jajarannya, para pedagang pasar burung Barito melakukan aksi unjuk rasa untuk menyuarakan penolakan.
- tvOnenews.com/Rika Pangesti
Namun, tak sedetik pun Pramono Anung menyempatkan dirinya untuk menengok ke arah para pedagang. Apalagi, untuk sekadar mengajak berdiskusi.
Karena hal inilah, para pedagang merasa kecewa dan merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Padahal, perihal wacana proyek ini, para Pedagang Pasar Burung Barito lah yang paling terdampak.
Namun mereka mempertanyakan, mengapa mereka tidak dilibatkan?
Solidaritas Terbangun, Tapi Perlu Didengar
Paguyuban Pedagang Pasar Burung Barito kini dibantu oleh advokat dari Solidaritas Pemasok dan Pedagang Pasar (SP3) untuk menyuarakan haknya hingga ke tingkat kota.
Aspirasi juga sudah disampaikan hingga ke tingkat lurah dan camat. Tapi semua itu, menurut pedagang, belum cukup jika suara mereka tidak sampai ke pemegang keputusan tertinggi di Jakarta.
“Kita pengen Gubernur tahu, langsung dari kami. Bukan dari laporan. Kami enggak menolak pembangunan, kami cuma minta solusi yang adil,” kata Yuliana.
Relokasi yang Tak Siap, Tapi Digencarkan
Kepada tvonenews.com, Yuliyana bercerita, sejak awal bulan Juli, pedagang menerima sosialisasi bahwa mereka akan dipindahkan ke kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Tapi hingga 15 Agustus, lokasi tersebut masih berupa tanah kosong. Sementara mereka sudah diminta meninggalkan kios sejak 3 Agustus.
- tvOnenews.com/Rika Pangesti
“Sudah disuruh pergi, tapi tempat barunya belum ada. Kami kan juga butuh kepastian, bukan hanya pengumuman,” ucap Yuliyana.
Dari 137 kios yang saat ini aktif di Barito, ada 88 kios JS25 yang artinya kios pedagang hewan, burung, beserta pakannya, sisanya adalah kios kuliner atau buah.
Sementara, kabarnya hanya sekitar 66 kios JS25 yang tersedia untuk pedagang burung di lokasi relokasi. Belum ada informasi resmi siapa yang berhak dan berdasarkan apa data itu diambil.
"Kita nggak tahu datanya dari mana, simpang siur," ujarnya.
Kekhawatiran Bertumpuk: Pelanggan, Lokasi, dan Masa Depan
Ketakutan pedagang bukan cuma karena tempat relokasi belum siap, tapi juga karena lokasi alternatif tidak ideal. Salah satu tawaran sebelumnya adalah kios di kawasan Mampang, Jakarta Selatan.
Yuliyana menceritakan, tempat sementara itu berada di lantai atas dan bercampur dengan pedagang buah dan makanan.
“Kalau makanan burung 20 kilo, pasir 25 kilo, masa harus naik-turun tangga? Kasihan juga burungnya, bisa stres. Belum lagi pembeli mana mau naik ke atas hanya buat beli pakan burung?” kata Yuliyana.
Selain itu, pedagang khawatir kehilangan pelanggan tetap karena lokasi baru terlalu jauh dari pusat kota.
“Pindah tempat artinya mulai dari nol. Itu berat,” lanjutnya.
Hidup Boleh Sederhana, Tapi Harapan Tak Bisa Dipadamkan
Dengan hanya membayar retribusi kios sebesar Rp150.000 per bulan, mayoritas pedagang tetap bisa bertahan, meski omzet makin turun sejak pandemi dan kabar relokasi muncul. Mereka masih bertahan karena yakin pasar ini punya nilai—bukan hanya ekonomi, tapi juga sejarah dan komunitas.
“Dari zaman saya muda, Pasar Burung Barito ini tempat orang nyari burung, makanan hewan, kumpul, ngobrol. Masa harus hilang cuma karena taman? Pasar Burung Barito sudah mendunia,” Yuliyana menghela napas.
“Kami Nggak Lawan Pemerintah, Kami Cuma Mau Didengar”
Satu permintaan sederhana dari para pedagang Barito kini menggantung di udara kota: temui kami, Pak Gubernur. Jangan biarkan proyek ruang hijau meninggalkan luka sosial. Jangan biarkan pembangunan mengorbankan mereka yang tak bersuara di ruang kekuasaan.
Mereka bukan menolak taman, mereka menolak dilupakan. (rpi/nba)
Load more