Pedagang Pasar Hewan Barito Duga Proyek Revitalisasi 3 Taman Jadi 1 Bermuatan Politis: Taman Bendera Pusaka untuk Megawati?
- Rika Pangesti/tvOnenews
Jakarta, tvonenews.com - Di balik aroma pakan burung dan suara kicau riang yang membanjiri Pasar Hewan Barito, tersimpan kegelisahan yang makin hari makin menguat.
Bukan hanya tentang relokasi yang tak kunjung jelas, tapi juga soal untuk siapa sebenarnya proyek revitalisasi tiga taman di kawasan Jakarta Selatan ini dijalankan?
Pertanyaan itu mencuat setelah para pedagang mendengar kabar bahwa proyek penggabungan Taman Langsat, Taman Barito, dan Taman Ayodya akan dilengkapi dengan pembangunan patung Fatmawati, ibu negara pertama dan ibu kandung dari Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri.
Dalam aksinya yang menolak proyek ini, Yuliyana (45) pengurus Paguyuban Pedagang Pasar Burug Barito, menuturkan bahwa pihaknya menduga bahwa proyek revitalisasi 3 taman menjadi 1 ini bermuatan politis.
Ketika Patung Jadi Simbol, Pedagang Curiga
Kabar pembangunan patung Fatmawati di lokasi yang selama ini menjadi bagian dari mata pencaharian mereka, memantik kecurigaan: apakah proyek ini berkedok penghijauan demi kepentingan politik?
"Kalau untuk taman kita setuju-setuju aja. Tapi kenapa tiba-tiba ada patung Fatmawati segala? Apa hubungannya sama kami pedagang?" kata Yuliyana dengan nada getir.
Bagi Yuliana dan lebih dari 130 pedagang lain yang menghuni pasar ini, proyek taman mendadak terasa tidak murni.
Mewakili ratusan pedagang lain di Pasar Barito, Yuliyana mengatakan, ia menaruh curiga, jika proyek ini adalah proyek khusus alias spesial dibuatkan untuk sosok yang dipanggil "IBU" oleh Pramono Anung, Gubernur DKI Jakarta.
Tak lain, sosok yang disapa "IBU" oleh Pramono adalah Megawati Soekarnoputri, orang yang mendorong dan merestui Pramono Anung menjadi orang nomor satu di Jakarta.
"Katanya sih nanti mau dibangun patung Ibu Fatmawati di taman itu. Ya kita jadi mikir, ini proyek buat publik, atau buat keluarga besar tokoh politik? Kan kayak begitu terlihat banget, buat partainya sendiri," tutur Yuliyana saat ditemui tvOnenews.com di kiosnya di Pasar Burung Barito, Jumat (16/8/2025).
Ketika Proyek Publik Tercium Aroma Politik
Kehadiran nama Fatmawati dalam proyek ini menimbulkan persepsi bahwa taman ini dibangun demi mengabadikan sosok yang punya keterkaitan langsung dengan elite politik saat ini.
Meskipun Fatmawati adalah tokoh nasional yang berjasa besar, waktu dan tempat pembangunan patungnya menimbulkan pertanyaan, kenapa sekarang, dan kenapa di sini?
"Apa ini bukan proyek publik lagi? Jangan sampai kami dikorbankan hanya demi estetika dan simbol politik," tegas Yuliyana.
Isu ini tidak muncul dari angin lalu. Dalam sosialisasi yang digelar pada 18 Juli oleh perwakilan dari Suku Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (PPKUKM), pedagang mulai mempertanyakan urgensi relokasi mereka.
Terutama ketika lokasi pengganti di Lenteng Agung masih berupa tanah kosong dan tidak siap digunakan. Sementara mereka sudah diminta angkat kaki sejak 3 Agustus.
Relokasi Tanpa Kepastian, Pembangunan yang Dipaksakan?
Menurut para pedagang, hingga pertengahan Agustus ini, lokasi pengganti belum layak pakai.
Bahkan tempat alternatif dinilai tidak sesuai karena berada di lantai atas gedung—tidak ramah untuk membawa karung pakan hewan hingga 25 kg, belum lagi tekanan terhadap hewan-hewan yang mudah stres.
"Tempatnya belum jadi, sosialisasi dadakan, dan kita diminta pindah. Tapi taman itu mau dibangun patung Fatmawati. Jujur ya, itu bikin kami bertanya-tanya. ini proyek siapa?" kata salah satu pedagang lainnya yang enggan disebutkan namanya.
Ketika relokasi tidak memberi jaminan tempat yang layak, tetapi pembangunan taman berjalan dengan cepat—bahkan sudah ada peletakan batu pertama pada 8 Agustus—keraguan soal motif politis proyek ini makin menguat.
Terlebih, acara seremoni ground breaking atau peletakan batu pertama itu dihadiri langsung oleh Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri. Bukannya dihadiri oleh pejabat terkait.
Bukan Penolakan Ruang Hijau, Tapi Ketidakadilan Sosial
- Rika Pangesti/tvOnenews
Para pedagang menegaskan, mereka tidak anti pada ruang terbuka hijau. Tapi yang mereka tolak adalah relokasi yang terburu-buru dan tidak manusiawi.
Pasar Barito bukan sekadar tempat berdagang. Ia adalah denyut ekonomi mikro yang selama bertahun-tahun menjadi ruang hidup warga.
“Kalau taman buat umum, kenapa kami yang sudah lama di sini harus dikorbankan?” ujar Yuliyana.
Tak hanya mereka merasa dikorbankan, tapi juga tak dianggap. Ketika Gubernur hadir dalam seremoni peletakan batu pertama taman, para pedagang berharap bisa menyampaikan langsung keluhan. Tapi harapan itu pupus.
"Pak Gubernur datang, tapi tidak menemui kami. Padahal kami ada di sini, hanya beberapa meter dari tempat acara. Seakan-akan kami tidak penting," ujarnya.
Perlu diketahui, saat momen peletakan batu pertama itu, para pedagang melakukan aksi unjuk rasa di sekitar kawasan taman dan pasar burung itu, namun tetap tak digubris oleh Pramono Anung dan pihak Pemprov Jakarta lainnya.
Harapan: Suara Rakyat Kecil Jangan Dibungkam
Paguyuban pedagang Pasar Burung Barito kini sudah didampingi advokat dari Solidaritas Pemasok dan Pedagang Pasar (SP3) dan anggota DPRD Komisi B seperti Pak Agus Hamonangan yang sempat turun langsung ke lokasi.
Namun hingga kini belum ada pertemuan formal antara pedagang dan Gubernur, apalagi pembatalan rencana relokasi.
Para pedagang berharap, proyek ini tidak menjadi panggung politisasi ruang publik.
“Kalau memang untuk rakyat, ya dengarkan juga suara rakyat kecil seperti kami,” pungkas Yuliyana.
Di tengah hiruk pikuk pembangunan kota, suara pedagang seringkali tenggelam oleh jargon kemajuan dan keindahan.
Tetapi ketika ruang hidup rakyat kecil tergeser demi proyek yang sarat simbol politik, mungkin sudah saatnya kita bertanya kembali: kota ini dibangun untuk siapa?
(rpi/iwh)
Load more