Media China Soroti Ulah Preman di Indonesia yang Ganggu Pabrik Mobil Listrik BYD dan VinFast
- Tangkapan layar
tvOnenews.com - “Indonesia’s EV revolution held hostage by ‘preman’ gangster problem (Revolusi EV Indonesia disandera masalah gangster ‘preman’),” begitu judul berita South China Morning Post (SCMP), dilansir Selasa (6/5/2025).
Di tengah semangat Indonesia membangun masa depan sebagai pusat kendaraan listrik di Asia Tenggara, sebuah masalah klasik kembali menghantui yakni premanisme.
Dari BYD asal Tiongkok hingga VinFast dari Vietnam, para investor asing yang menanamkan ratusan juta dolar itu kompak melaporkan gangguan dari para preman.
- istimewa
Kabar ini mencuat setelah Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno mengungkapkan kekhawatirannya soal gangguan preman terhadap proyek senilai US$1 miliar milik BYD di Subang, Jawa Barat.
Ia menyebut pembangunan pabrik mobil listrik tersebut diganggu oleh praktik premanisme yang menghambat kelancaran investasi.
“Pemerintah harus bersikap tegas. Ini bukan hanya soal proyek, tapi soal kredibilitas Indonesia di mata investor global,” tegasnya pada 20 April lalu.
Hal serupa juga dialami VinFast, yang tengah membangun fasilitas produksi senilai US$200 juta di kawasan yang sama.
Kepala Staf Kepresidenan sekaligus Ketua Asosiasi Industri Kendaraan Listrik Indonesia Moeldoko mengakui bahwa VinFast juga menghadapi gangguan serupa, dan ia harus turun langsung untuk berkomunikasi dengan tokoh-tokoh lokal.
“Ironis. Kita butuh lapangan kerja, tapi justru pengusaha yang ingin memberi pekerjaan dihambat oleh kelompok yang mengedepankan kekuasaan informal,” ujar Moeldoko.
- Dok. BNI
Meski demikian, kedua perusahaan baik BYD maupun VinFast berusaha meredakan kekhawatiran.
Mereka mengklaim bahwa pembangunan berjalan sesuai jadwal, sembari menjaga hubungan baik dengan masyarakat dan tunduk pada aturan lokal.
Kekuasaan informal yang terorganisir dalam bentuk gangster dan ormas. Menurut peneliti dari Universitas Murdoch Ian Wilson fenomena ini bukanlah hal baru.
Dalam bukunya The Politics of Protection Rackets in Post-New Order Indonesia, ia menjelaskan bahwa preman telah menjadi bagian dari sistem politik patronase Indonesia warisan dari era Orde Baru bahkan sejak era kolonial Belanda.
“Ketika investor besar masuk ke daerah, langkah pertama yang biasa dilakukan adalah menemui orang kuat setempat. Kalau tidak, ya siap-siap diganggu,” kata Wilson.
Perusahaan kerap menawarkan pekerjaan bagi preman sebagai penjaga keamanan atau staf operasional, namun kompleksitas meningkat ketika preman tersebut merupakan bagian dari ormas besar yang punya jejaring politik dan militer.
Menurut Ketua Indonesian Police Watch Sugeng Teguh Santoso kekuasaan di Indonesia kini tidak lagi terpusat seperti era Soeharto, melainkan terfragmentasi: antara TNI, Polri, pemda, hingga tokoh masyarakat dan ormas.
“Sekarang semua berebut wilayah pengaruh. Salah satu yang diperebutkan adalah pengelolaan limbah industri, yang nilainya mencapai ratusan miliar rupiah,” ujar Sugeng.
- Tim tvOnenews/Abdul Gani Siregar
Dilema Pemerintah
Menteri Investasi dan Hilirisasi Rosan Roeslani mengklaim telah berkoordinasi dengan Kapolda dan pemda untuk mengatasi gangguan terhadap proyek kendaraan listrik.
Bahkan Panglima Kopassus Djon Afriandi ikut bersuara, mendorong tindakan keras terhadap preman.
Namun bagi Wilson, solusi tak bisa hanya mengandalkan represif. Ia menyarankan pendekatan negosiasi dan pembuatan kesepakatan.
“Premanisme di Indonesia tidak bisa dilawan hanya dengan kekerasan. Ini menyangkut sistem patronase politik yang melekat dari atas ke bawah,” jelasnya.
Load more