Jakarta, tvOnenews.com - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang baru akan segera berlaku pada 2 Januari 2026.
Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Edward O.S. Hiariej atau yang akrab disapa Eddy mengatakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru harus disahkan sebelum 1 Januari 2026.
Menurut dia, KUHAP yang baru harus berorientasi pada asas Due Process of Law yang memberi perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Eddy menjelaskan alasan mengapa harus disahkan sebelum KUHP baru berlaku.
"Kalau KUHP baru sudah berlaku dan KUHAP tidak diubah, maka Polisi, Jaksa, Hakim yang akan melakukan penahanan, akan kehilangan legitimasi dalam proses penahanan tersebut," ucap Eddy.
Dia menyebut, KUHAP yang berlaku saat ini, dalam pasal 21 menyaratkan sebagai syarat objektif.
“Tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal-pasal berikut dalam KUHP itu bisa dilakukan penahanan. Nah pasal-pasal itu semua sudah dirubah dengan KUHP yang baru, jadi akan kehilangan legitimasi bila melakukan penahanan,” jelas Eddy, Jakarta, Minggu (16/3/2025).
Dia menuturkan, perubahan paradigma hukum pidana yang tidak lagi berorientasi pada keadilan retributif, tetapi berorientasi pada korektif, restoratif, dan rehabilitatif mengharuskan perubahan pada KUHAP.
“Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus melakukan perubahan cukup mendasar terhadap KUHAP,” terang Eddy.
Menurutnya, dalam RKUHAP masih menggunakan sistematika KUHAP lama, ada beberapa hal baru yang ditambahkan, meskipun lebih 50% tetapi materinya masih model lama.
“Kalau saya lihat sekilas, ini jelas bukan perubahan, kita harus mengganti KUHAP yang lama,” terang Eddy.
KUHAP yang lama, kata Eddy, tidak berorientasi pada due process of law, jika ditimbang antara dua nilai dalam sistem peradilan pidana.
"Maka timbangan itu akan lebih berat pada crime control model, itu yang terlihat pada KUHAP saat ini, yang mengutamakan kecepatan dalam beracara, mengutamakan kuantitas, dsb. Dan ini tentunya jauh dari due process of law," beber Eddy.
“Bahkan saya selalu mengatakan, bahwa Ketika orang berdebat lalu mengatakan KUHAP kita itu memberikan perlindungan HAM, kemudian ia merujuk pada due process of law, saya katakan tidak demikian, karena kita tahu ciri-ciri dari crime control model maupun due process of law yang kita pelajari di bangku kuliah itu tidak terlihat dari KUHAP yang sudah berusia lebih 40 tahun ini,” tambahnya.
Eddy mengatakan, oleh karena itu, kita harus melakukan perubahan paradigma terhadap KUHAP yang akan dibahas dan akan disahkan di tahun 2025 ini.
“Kita harus melakukan perubahan-perubahan mendasar, yang kemudian ia akan berorientasi pada due process of law yang memberi perlindungan terhadap HAM,” ucapnya.
Hal penting selanjutnya, melihat KUHAP sebagai ius constituendum atau hukum yang berlaku di masa depan, dia menegaskan bahwa filosofis hukum acara pidana sama sekali bukan untuk memproses orang yang melakukan tindak pidana.
Tetapi filosofis hukum acara pidana adalah untuk melindungi individu dari kesewenang-wenangan aparat penegakan hukum.
“Itu yang harus kita pahami Bersama itu dulu (filosofis hukum acara pidana adalah untuk melindungi individu dari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum). KUHAP kita tidak berorientasi pada itu, ia lebih mengedepankan teori crime control model, dan KUHAP yang disusun pada tahun 1979 – 1981 itu menggunakan apa yang kita sebut dengan istilah pasticipant approach, ia dibentuk, disusun dengan sudut pandang kacamata aparat penegak hukum,” tandas Eddy.
Menurut Eddy, pada KUHAP yang berlaku saat ini, banyak sekali ketentuan yang merupakan kewajiban, tetapi tidak ada sanksi apabila kewajiban itu dilanggar.
Kemudian tidak ada satu pasal pun yang tertulis terkait asas praduga tidak bersalah. Asas praduga tidak bersalah hanya ada di penjelasan umum huruf 3 poin c.
“Karena kita berangkat dari filosofis hukum acara pidana adalah untuk melindungi individu dari kesewenang-wenangan negara, maka sudah barang tentu ada prinsip-prinsip dalam hukum acara pidana itu seperti: Hukum acara pidana harus tertulis; Hukum acara pidana itu harus jelas; dan Hukum acara pidana itu harus ketat,” tutur Eddy.
“Kita harus berangkat dulu dari filosofisnya, baru kita bangun yang merujuk pada due process of law,” tandasnya. (rpi/raa)
Load more