Babak Baru Eksepsi Tom Lembong Ungkap Banyak Kejanggalan Dakwaan Jaksa, Ini Buktinya
- Istimewa
Jakarta, tvOnenews.com - Kasus dugaan korupsi importasi gula yang disangkakan kepada Thomas Trikasih Lembong (TTL) memasuki babak baru.
Tom Lembong menjalani persidangan pokok perkara terkait kasus tersebut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Kamis (6/3/2025).
Agenda sidang perkara No: 34/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst adalah pembacaan dakwaan dari JPU.
Namun, setelah mencermati dan memperlajari dakwaan JPU, Tim Kuasa Hukum Lembong menyampaikan nota keberatan (eksepsi).
“Terdapat beberapa fakta yuridis yang menjadi poin penting betapa TTL tidak memiliki kesalahan apapun untuk disangkakan sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Hal itu sekaligus menunjukkan betapa kasus ini adalah bentuk kriminalisasi dan tindakan abuse of power JPU terhadap TTL” ungkap juru bicara Tim Kuasa Hukum Lembong, Ari Yusuf Amir.
Berikut beberapa fakta yuridis dalam kasus ini:
Pertama, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang secara absolut untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo. Sebab yang didakwakan merupakan perkara Pangan yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Sementara Kewenangan Pengadilan Tipikor dibatasi berdasarkan Pasal 6 huruf c UU 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor (“UU Pengadilan Tipikor”) jo. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (“UU Tipikor”).
Faktanya, pelanggaran ketentuan hukum positif yang dituduhkan penuntut umum dalam dakwaan, tidak memasukan atau mencantumkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UU Tipikor, yang berarti dasar hukum yang dijadikan rujukan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum mutlak tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Oleh sebab itu, dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan perbuatan Terdakwa sebagai Tindak Pidana Korupsi dan sebagai perbuatan melawan hukum adalah TIDAK SAH, karena bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 14 UU Tipikor jo. Pasal 6 huruf c UU Pengadilan Tipikor.
Kedua, Perhitungan Kerugian Keuangan Negara oleh BPKP RI di dalam Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dalam Kegiatan Importasi Gula Di Kementerian Perdagangan Tahun 2015 s.d. 2016 Nomor: PE.03/R/S51/D5/01/2025 tanggal 20 Januari 2025 secara nyata dan pasti.
Namun unsur Perbuatan Melawan Hukum dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tidak terdapat cukup bukti (dhi. Ketentuan yang tidak secara tegas menyatakan sebagai Tindak Pidana Korupsi), maka penyidik seharusnya segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan (dhi. Kementerian Keuangan) untuk mengajukan gugatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor.
Ketiga, dari Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum diketahui, pihak-pihak yang melakukan pembayaran baik kepada Pajak dan/atau PT PPI sampai akhirnya oleh Jaksa Penuntut Umum dijadikan sebagai dasar untuk menyatakan telah terjadi kerugian keuangan negara (in casu bea masuk, PDRI, dan jual-beli gula), adalah transaksi yang tidak dilakukan oleh Terdakwa melainkan dilakukan antara 9 (sembilan) Perusahaan Swasta selaku penjual Gula dan sebagai Wajib Pajak.
Dalam hal ini, pertanggungjawaban atas pembayaran penerimaan negara (in casu Bea masuk dan PDRI) merupakan tanggung jawab pribadi dari Wajib Pajak yang bersangkutan, dan sesuai dengan asas pertanggungjawaban personal dalam Hukum Pidana yang menyatakan pertanggungjawaban dalam Hukum pidana bersifat pribadi.
Dengan demikian, Terdakwa selaku Menteri Perdagangan demi hukum tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Dalam kasus ini, oleh karena Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya telah menetapkan Terdakwa sebagai Pihak yang ikut bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan 9 (sembilan) Perusahaan dengan PT PPI, secara terang membuktikan bahwa Jaksa Penuntut Umum telah error in persona dalam menetapkan TTL sebagai Terdakwa dalam Perkara ini.
Keempat, Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun Surat Dakwaan telah senyatanya menggunakan Laporan Audit Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dalam Kegiatan Importasi Gula Di Kementerian Perdagangan Tahun 2015 s.d. 2016 Nomor: PE.03/R/S-51/D5/01/2025 tanggal 20 Januari 2025 dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI) sebagai dasar dalam menguraikan peristiwa terjadinya Kerugian Keuangan Negara dalam Perkara a quo.
Padahal faktanya kegiatan importasi Gula di Kementerian Perdagangan Tahun 2015 s.d 2016 telah diaudit oleh Badan Pemeriksan Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) dengan kesimpulan tidak terdapat kerugian keuangan negara berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Perencanaan, Pelaksanaan, Dan Pengawasan Tata Niaga Impor Tahun 2015 s.d Semester I Tahun 2017 Pada Kementerian Perdagangan Dan Instansi/Entitas Terkait No. 47/LHP/XV/03/2018 tanggal 2 Maret 2018 (“LHP BPK 2015 – 2017”).
Sampai saat ini tidak pernah terdapat Putusan Pengadilan, Penetapan, dan/atau keputusan yang membatalkan LHP BPK 2015 – 2017.
Oleh karena itu Jaksa Penuntut Umum demi hukum tidak dapat mendasarkan Surat Dakwaannya dengan Hasil BPKP yang objeknya sama dengan LHP BPK RI.
Dengan demikian Surat Dakwaan Penuntut Umum haruslah dinyatakan batal demi hukum.
Kelima, Jaksa Penuntut Umum tidak cermat dalam menyusun unsur melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang dalam Surat Dakwaannya, dikarenakan seluruh perbuatan Terdakwa yang diuraikan dalam Surat Dakwaan seluruhnya merupakan bentuk tindakan Administratif dalam jabatan Terdakwa sebagai Menteri Perdagangan yang senyatanya telah ditembuskan kepada instansi terkait dan tidak terdapat keberatan.
Dengan demikian keputusan yang telah ditetapkan Terdakwa sebagai Menteri Perdagangan dianggap sah, memenuhi Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), dan berdasarkan pemisahan fungsi (Segregation of Function) didalam Kementerian Perdagangan.
Quod non terdapat keberatan dalam tindakan Terdakwa maka hal tersebut harus dperiksa dan diadili pada Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai UU Administrasi Pemerintahan.
Keenam, Surat Dakwaan tidak cermat jaksa penuntut umum, tidak jelas dan tidak lengkap karena dalam hal ini tidak menguraikan peristiwa mengenai Harga Beli Gula Kristal Putih Yang Dilakukan Oleh Induk Koperasi Kartika (“Inkopkar”), Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Inkoppol”), Satuan Koperasi Kesejahteraan Prajurit dan/atau Pusat Koperasi Polisi Daerah (“Puskoppol”) dari PT Angels Products, PT Makassar Tene, PT Sentra Usahatama Jaya, PT Medan Sugar Industry, PT Permata Dunia Sukses Utama, PT Andalan Furnindo, PT Duta Sugar International, dan PT Berkah Manis Makmur (“8 Perusahaan Swasta”).
Padahal Jaksa Penuntut Umum menggunakan selisih bea masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor dari realisasi kerjasama Inkopkar Inkoppol, dan Puskoppol dengan 8 Perusahaan Swasta sebagai Dasar Perhitungan Kerugian Negara.
Dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum dalam Dakwaannya hanya menjelaskan secara rinci bagaimana PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (“PT PPI”) telah membeli GKP dari 8 (delapan) Perusahaan Swasta sebesar Rp 9.105/kg dibandingkan dengan Harga Patokan Petani (HPP) sebesar Rp. 8.900/kg.
Ketujuh, uraian mengenai Kerugian Negara Dalam Surat Dakwaan tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap karena Perhitungan Kerugian Negara di Dalam Surat Dakwaan mengabaikan ketentuan Pasal 4B Undang-Undang 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara jo. Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Jaksa Penuntut Umum dalam hal ini tidak cermat dalam menghitung kerugian keuangan negara akibat perbuatan Terdakwa karena dalam hal ini telah mengabaikan status PT PPI yang merupakan perusahaan berstatus Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) yang mana memiliki kekayaan terpisah dari keuangan negara sehingga keuntungan maupun kerugian yang dialami oleh BUMN merupakan keuntungan atau kerugian BUMN sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 4B Undang-Undang 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Selain itu Jaksa Penuntut Umum juga tidak cermat dalam menghitung kerugian keuangan negara karena telah mengabaikan Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menjelaskan bahwa bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap Terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.
Kedelapan, Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap, di mana dalam Surat Dakwaannya Jaksa Penuntut Umum menggunakan Harga Patokan Petani dalam menyimpulkan adanya kemahalan harga beli dan selisih keuntungan yang diterima 9 (sembilan) Perusahaan Swasta dari hasil Jual – Beli GKP dengan PT PPI, oleh karena sesuai Pasal 1 angka 2 Permendag 35/2015 dan Permendag 42/2016 Harga Patokan Petani hanya berlaku di tingkat Petani, sedangkan dari awal Jaksa Penuntut Umum telah mengetahui kedudukan 9 (sembilan) Perusahaan Swasta yang merupakan Importir dan Produsen Gula bukan berkedudukan sebagai Petani.
Selain itu, Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum senyatanya tidak mencantumkan dasar hukum/Peraturan Perundang-undangan yang relevan dalam menggunakan Harga Patokan Petani dalam Perkara a quo dan Jaksa Penuntut Umum juga tidak menguraikan tahun realisasi pembelian Gula Kristal Putih oleh PT PPI kepada 9 (sembilan) Perusahaan Swasta.
Kesembilan, Surat Dakwaan Tidak Cermat, Tidak Jelas Dan Tidak Lengkap Karena Tidak Menguraikan Peristiwa Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Kegiatan Importasi Gula di Kementerian Perdagangan sejak Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2023 sebagaimana Surat Perintah Penyelidikan, Surat Perintah Penyidikan, Surat Penetapan Tersangka dan Surat Penetapan Penahanan yang Menjadi Satu-Kesatuan dengan Surat Dakwaan.
Dalam Surat Dakwaannya Jaksa Penuntut Umum Hanya Menguraikan Peristiwa Dugaan Tindak Pidana a quo yang Terjadi pada Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2016 sehingga Surat Dakwaan harus Batal Demi Hukum.(hmd/lkf)
Load more