Jakarta, tvonenews.com - Film dokumenter “Dirty Vote” pada Minggu siang dirilis oleh rumah produksi WatchDoc di platform YouTube.
Calon Wakil Presiden nomor urut 01 Muhaimin Iskandar atau Cak Imin mencuitkan, "Ada yang sudah Nonton?"
Ribuan komentar kemudian membanjiri cuitan Cak Imin tersebut. Sebagian besar diantaranya meminta agar Cak Imin tidak menggunggahnya karena sedang masuk masa tenang jelang pencoblosan Pemilu 2024.
"Masa tenang cak, mending pake akun alter aja twitteran-nya," kata salah satu netizen.
"Filmnya bagus cak, tapi boleh ga dihapus aja? Kita uda tau kok info film ini dari sumber lain, jangan dirimu yang posting cak, nanti ada tuduhan yang tidak diinginkan," ujar netizen lainnya.
"Hapus cak. Gak etis dan ini masa tenang." kata salah seorang warganet.
"Cak, Cak dan Abah tolong diem aja. biar kita yg kerja untuk viralin. Diapus aja kalian berdoa aja semoga tgl 14 kalian menang," ujar netizen lain.
Film dokumenter “Dirty Vote” pada Minggu siang dirilis oleh rumah produksi WatchDoc di platform YouTube.
Film dokumenter Dirty Vote disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono.
Dalam siaran tertulisnya, Dandhy menyampaikan film itu bentuk edukasi untuk masyarakat yang pada 14 Februari 2024 akan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2024.
“Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres, tetapi hari ini saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara,” kata Dandhy.
(Tangkapan Layar: Cuplikan video Dirty Vote. Sumber: YouTube)
Dia menjelaskan film itu digarap dalam waktu sekitar 2 minggu, yang mencakup proses riset, produksi, penyuntingan, sampai rilis.
Pembuatannya, dia menambahkan, melibatkan 20 lembaga, antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Perludem, Indonesia Corruption Watch, JATAM, Lokataru, LBH Pers, WALHI, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.
Film tersebut menampilkan tiga pakar hukum tata negara, yaitu Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada, Feri Amsari dari Universitas Andalas, dan Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera.
Tiga pakar itu secara bergantian dan bersama-sama menjelaskan rentetan peristiwa yang diyakini bagian dari kecurangan pemilu. (ito)
Load more