tvOnenews.com-Untuk sebuah adegan, misalnya ketika DN Aidit memimpin rapat bersama sejumlah elit Partai Komunis Indonesia (PKI) di sebuah ruangan kamera tampak terus bergerak.
Gambar seperti sengaja tak fokus pada Aidit yang tengah pidato menjelaskan kondisi situasi nasional yang semakin genting, tapi juga gambar detail telepon, jajaran foto pada dinding (termasuk foto Lenin pada dinding) orang mengintip dari jendela, juga mimik muka peserta rapat yang tampak bingung dan resah.
Bahasa visual lain yang paling ekstrem adalah sudut pengambilan gambar dari atas ruangan yang cukup lama (high-angle). Sudut gambar ini menjadi gaya shot utama dalam film karena muncul di banyak adegan, termasuk rapat rapat Soeharto di markas KOSTRAD.
Menurut sineas dan peneliti bahasa visual film Hafiz Rancajale film Pengkhianatan G-30 September/ PKI adalah salah satu pencapaian film propaganda terbaik yang pernah dihasilkan sineas tanah air. Capaian Arifin C Noer agaknya setara dengan karya-karya Leni Riefenstahl (Jerman), Sergei Eisenstein (Rusia), Mikhail Kalatozov (Rusia).
Hafiz mencontohkan dengan sangat efektif, Arifin C Noer mendedahkan penokohan yang diinginkan: Soekarno yang intelektual, Aidit yang licik, Syam Kamaruzaman yang bengis.
Sudut pengambilan dari atas pada film Pengkhianatan G-30 September/ PKI mengungkap pikiran sutradara yang berjarak dengan tema, belum yakin dengan fakta sejarah yang ditampilkan dalam karya filmnya. (sumber foto Jurnal Footage)
Arifin juga sangat mengerti bahasa visual untuk mengungkapkan pikiran sutradara. Banyaknya percakapan yang diambil dari balik tirai atau kerap menggunakan high angle adalah cara Arifin bersikap pada tema film yang sebenarnya pesanan.
"Arifin bereksperimentasi dengan konsep voyeuring atau mengintip dari jauh. Hal ini tentu tidak lepas dari ide, “melihat dari jauh sebuah peristiwa” yang belum tentu diyakini kebenarannya oleh sang sutradara" ujar Hafiz seperti yang ditulisnya dengan bagus di Jurnal Footage.
Syu'bah Asa dinilai tampil buruk
Syu'bah Asa didapuk Arifin C Noer sebagai pemeran gembong PKI Aidit. Syu'bah memang dekat dengan dunia teater dan pemeranan. Bersama wartawan Tempo lain yang juga dramawan, Putu Wijaya, Syu'bah bergaul akrab dengan komunitas teater di Jakarta. Ia pernah menjadi juri sejumlah festival teater di Jakarta sejak 1970-an, menulis naskah untuk Bengkel Teater Rendra.
Syu'bah Asa wartawan senior Tempo, aktif di dunia drama juga penulis kolom keagamaan terpandang (Sumber foto Arif Fadilah/Tempo)
Syu'bah sangat religius. Ia memang lahir dari keluarga santri di Pekalongan. Saya pernah mampir ke indekosnya pada medio 2000 ketika kesehatannya mulai menurun di bilangan Pejaten, Jakarta Selatan. Rak rak bukunya penuh dengan kitab kitab tebal berbahasa Arab. Selain menulis seni, Syu'bah memang banyak menulis esai dan kolom agama.
Dengan latar ini, Syu'bah tak kesulitan menafsirkan kemauan sutradara. Caranya bicara, merokok, menenggak kopi, ekspresinya saat memimpin rapat dibingkai dengan jarak sangat dekat berjejak di kepala hingga kini. Aidit hasil tafsiran seni peran Syu'bah dan besutan Arifin adalah Aidit yang licik, penuh muslihat.
Pada Majalah Tempo edisi 7 Oktober 2007 Syu'bah menjelaskan sebenarnya ingin menampilkan akting yang lebih natural, utuh dan apa adanya. Namun, untuk itu ia membutuhkan tak hanya riset pustaka, tapi juga mendatangi keluarga Aidit yang telah bercerai berai.
Beruntung ada anggota redaksi Majalah Tempo, Amarzan Ismail Hamid, penyair yang pernah menjadi anggota redaksi Harian Rakyat mengenal Aidit secara pribadi. Di Wisma Tempo Sirnagalih, Megamendung Bogor, Syu'bah berdiskusi ihwal sosok pribadi Aidit dengan Amarzan.
Informasi paling penting yang disampaikan Amarzan, di antara semua tokoh komunis dunia yang pernah ia temui Mao Tse Tung, Ho Chi Minh, Aidit sosok yang paling tidak kharismatis. Informasi penting ini akan ditampilkan dalam mimik dan gesture dalam pemeranan.
"Tadinya saya ingin memberikan perwatakan yang utuh," ujar Syu'bah. "Tapi Arifin menyebut tak perlu, hanya butuh beberapa ekspresi saja," tambah Syu'bah.
Sayang, saat akan syuting, Syu'bah tertidur. Hasilnya, saat pengambilan gambar, ia merasa aktingnya tidak maksimal. Setelah menyaksikan bagaimana Arifin menampilkan Adit dalam film berdurasi 271 menit, Syu'bah merasa tak berhasil menampilkan sosok Aidit. Namun, sejak awal Syu'bah diinformasikan oleh Arifin, Aidit memang bukan tokoh utama. Namun, Syu'bah tetap meminta pendapat Amarzan soal penampilannya dalam film. "Buruk," ujar Amarzan.
Aidit Tidak Merokok
Amarzan menyebut memang sulit menampilkan sosok Aidit untuk sebuah film propaganda yang semuanya berdasarkan pesanan. Juga pada Tempo, Amarzan menyebut pernah diajak Arifin dan Danarto untuk terlibat sebagai Direktur Artistik di film tersebut. Setelah memberi saran, banyak pendapat Amarzan diabaikan, akhirnya ia memilih mundur.
"Ini film horor, Mbi," ujar Arifin singkat mendeskripsikan genre film yang akan mereka buat ketika diskusi pada awal produksi film. Embie C Noer, seorang musisi kontemporer yang bergiat di Teater Kecil, teater yang didirikan Arifin C Noer. Embie terbiasa menggarap musik untuk karya karya Arifin C Noer. Bagi Embie film Pengkhianatan G-30-September/PKI bukan sebuah rekonstruksi sejarah.
Arifin meniatkan film berbujet Rp 800 juta (cukup besar untuk era 1980-an) sebagai diskusi politik. Contohnya adegan Aidit merokok sangat berbeda dengan fakta elit PKI itu tidak merokok dalam kehidupan sehari hari. Murad Aidit menyebut sang Kakak tidak pernah merokok.
Jajang C Noer yang mendampingi suaminya Arifin menyebut memang cukup sulit menggambarkan Aidit. Waktu ia Arifin hanya memiliki satu foto Aidit. Setelah diamati memang mirip dengan Syu'bah Asa secara wibawa. Kemiripan wibawa juga jadi pertimbangan ketika menunjuk Umar Kayam jadi sosok yang memainkan Soekarno. Meski kemudian Jajang mengaku mengalami kesulitan berikutnya.
"Setelah riset, ternyata sosok Aidit itu dandy," ujar Jajang. "Syu'bah Asa tidak bisa dikatakan dandy," ujar Jajang.
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Goenawan Mohamad menceritakan ihwal dipilihnya Arifin C Noer menyutradarai film produksi Perum Produksi Film Negara dalam sebuah tulisan di laman media sosialnya.
Suatu ketika saat lari pagi di sekitar Gelora Bung Karno, Mas Goen bertemu dengan G. Dwipayana, usai lari Mas Dipo bertanya sutradara film yang bagus yang bisa menggarap film yang akan diproduksi PPFN.
Goenawan menyebut dua nama: Teguh Karya dan Arifin C Noer. Saat itu Dipo--panggilan akrab G. Dwipayana belum kenal karya karya Arifin. Waktu itu, "Suci Sang Primadona" baru beredar di bioskop-bioskop. Beberapa hari kemudian Goenawan dan G Dwipayana kembali bertemu. Dipo memuji Arifin dan akan mengajak terlibat dalam film terbaru PPFN.
Sempat dihentikan penayangannya saat era reformasi selain karena kebenaran sejarah yang terkandung juga keberatan dari TNI AU (sumber foto: Istimewa)
Sempat Dihentikan Penayangan
Film Pengkhianatan G-30-September/PKI sempat dihentikan penayangannya ketika era reformasi. Saat itu tiga tokoh sentral yang menghentikan penayangannya adalah Marsekal Udara Saleh Basarah, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono. Juwono dan Yunus Yosfiah mengaku pernah ditelepon Saleh Basarah yang keberatan film itu mengulang ulang keterlibatan perwira AURI pada peristiwa 30 September.
Pada era Presiden Habibie akhirnya Yunus Yosfiah menyetop kewajiban penayangan film Pengkhianatan G-30-September/ PKI di stasiun televisi. Juwono bahkan lebih jauh, ia meminta pelajaran sejarah di sekolah kembali dikaji kebenarannya yang dianggap terlalu mengkultuskan Mantan Presiden Soeharto.(bwo-sebagian besar dari Majalah Tempo dan berbagai sumber lain yang disebutkan dalam tulisan)
Load more