Menurut dia, dalam konteks tersebut, lembaga penegak hukum bisa menjadi lembaga yang dapat kewenangan penyadapan ini. Namun, bagaimana prosedurnya, batasannya seperti apa yang harus terlebih dahulu diselesaikan pembahasannya.
"Ketika DPR sebagai pembentuk UU bersama Presiden sudah menyepakati mekansimenya, bisa beranjak siapa yang bisa gunakan kewenangan penyadapan," katanya.
Fajri juga menyoroti pemberian kewenangan pada kejaksaan dalam pengawasan multimedia yang diatur dalam Pasal 30b huruf (f) yang dinilainya tidak relevan dilekatkan pada institusi penegak hukum tersebut.
Pasal 30b huruf (f) disebutkan bahwa dalam intelijen penegakan hukum, kejaksaan berwenang melakukan pengawasan multimedia.
Menurut dia, kewenangan pengawasan multimedia tidak relevan karena mekanisme pengawasan sudah dibangun tersendiri berdasarkan lembaga, misalnya Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
"Kami menilai perkembangan lebih cepat ada di UU Sistem Perbukuan (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017) yang sudah memiliki mekanisme pengawasan sendiri dan kejaksaan dilibatkan dalam konteks penegakan hukum, bukan pengawasan yang selama ini dijalankan," ujarnya.
Ia menilai keterlibatan kejaksaan dalam penindakan terhadap konten multimedia yang bermasalah harus dalam penegakan hukum melalui proses peradilan, bukan masuk dalam ranah pengawasan dalam konteks intelijen penegakan hukum.
Load more