Dari Arafah saya dan jutaan manusia memandang tugu putih di atas bukit Jabal Rahmah di Padang Arafah. Bangunan beton tegak kokoh tepat diatas bukit batu terjal yang sangat saya rindukan, selalu ada dalam ingatan meskipun baru saja sekejap ditinggalkan, kekangenan sudah tak tertahankan.
Dulu, hanya dari mendengar dari suara merdu Acil Bimbo dari radio butut, saya bisa meneteskan air mata. “ada tugas berat selesai/ dua puluh tiga tahun/ terdengar dalam amanatnya/ di Jabal Rahmah.”
Saya memandang sekeliling, kota jadi putih oleh lautan tenda. Sebagian besar jamaah memang berada di tenda rombongan atau kloternya masing masing. Mereka pasti tengah menahan panas karena tenda mungkin tak berpenyejuk udara di Arafah. Namun, jamaah tengah mengerjakan ibadah unik: “berdiam”, laku sederhana yang sesungguhnya sangat sulit. Mengambil jarak dari segala gebalau pikiran bukan perkara mudah.
Menghamba di depan Sang Khalik bukan dengan cara biasanya, sujud, menahan rasa lapar, atau menginfakkan harta benda, tetapi dengan tafakur, merenung. Pikiran kita konsentrasikan hanya pada Zat yang Asal, Agung, Esa. Lisan tak berhenti berdzikir dan bertahmid.
Saya menikmati sekali proses “berhenti” sejenak di Arafah, sambil sesekali menghirup udara di luar tenda. Meski hawa panas seperti membakar kulit yang tak bisa dihalau oleh dua potong kain, tapi saya ingin melihat bukit Jabal Rahmah itu. Dari jauh penanda sejarah itu tetap gagah apalagi siang itu nyaris tak ada awan gelap.
Terlihat jutaan manusia dari berbagai bangsa, ras, suku, warna kulit hilir mudik di sekitarnya menapaktilasi lokasi pertemuan Adam dan Hawa, dua manusia pertama yang menjadi nenek moyang umat manusia. Jutaan manusia itu sedang menyambung tali yang diikat oleh persaudaraan yang sama, darah yang sama, tulang yang sama.
Load more