(Dok. Soekarno bersama keluarga saat menjalani pengasingan di Ende. Sumber: istimewa)
Membaca kembali kisah pergulatan Soekarno dengan teater di bulan Juni ini yang dikenal sebagai Bulan Bung Karno, saya kemudian seperti terlempar ke masa kuliah di UIN Purwokerto, Jawa Tengah.
Saat itu lantaran keasyikan menggeluti teater, saya bahkan hampir lupa bahwa batas studi dari orang tua sudah hampir selesai (7 tahun). Saat itu, bersama sejumlah rekan lain, saya memang lebih banyak “berproses” di Teater Didik yang ikut saya dirikan, dibandingkan di kelas mengikuti perkuliahan.
Berbagai naskah pernah kami mainkan, baik naskah standar Barat atau naskah buatan sendiri. Repertoar repertoar itu kami panggungkan tak hanya di dalam universitas, tapi juga kampus kampus tetangga seperti Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Universitas Jenderal Soedirman hingga UIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta.
Bahkan pernah kami pentas di Markas Korem 071 Wijayakusuma. Saya merasa salah satu kenekatan dalam hidup adalah mengkritik pengapnya hidup di masa Orde Baru, tapi di markas dan di hadapan prajurit prajurit ABRI. Jika penguasa tak berkenan, tentu saya dan pentolan pentolan Teater Didik bisa dikenakan pasal pasal subversi.
(Ecep S.Yasa saat bermain peran di teater kampus saat mahasiswa. Sumber: istimewa)
Dunia teater juga membawa pada petualangan lain: aktivisme mahasiswa. Saya gemar membaca puisi di unjuk rasa mahasiswa yang rutin di gelar di kampus di sekitar medio 1990-an yang memprotes Dwifungsi ABRI, menyerukan Golput dan menolak 5 paket UU Politik ketika itu.
Pada salah satu unjuk rasa di dekat alun alun kota Purwokerto, saya tertangkap, dilemparkan ke mobil bak terbuka milik polisi, diarak keliling kota, dan berakhir menginap di hotel prodeo untuk beberapa hari sebagai tersangka.
Tapi, biarlah, itu bagian dari masa muda, masa penuh gairah, era tak ada beban hidup selain kewajiban menyelesaikan studi untuk “dihadiahkan” pada kedua orang tua. Bukankah, menurut Soekarno anak muda harus berani vivere pericoloso, hidup harus berani menyerempet bahaya.
Load more