Apa yang menautkan hati Mbah Ruliyah dan Mbah Harun pada Kabah?
Tiba tiba saya terngiang ngiang dengan ucapan Nurcholish Madjid tentang konsep hanifiyyat-u al-samhah, hati hati yang pasrah, terbuka, dan lapang mencari kebenaran. Kehanifan tertanam kuat di lubuk hati keduanya tanpa pernah diucapkan. Tak heran jika kehanifan mereka lalu bertaut pada Kabah, rumah suci yang dibangun kembali oleh “bapak kehanifan” Nabi Ibrahim pada 4.000 tahun lampau.
Padahal, kita tahu ibadah haji adalah ibadah fisik. Selama 40 hari, seluruh rukun rukunnya memerlukan kesiapan fisik yang prima. Berlari lari kecil (sai) di sekitar bukit Safa dan Marwah dengan cuaca terik kota Mekkah hingga 40 derazat; wukuf di Padang Arafah yang panasnya melebihi kota Mekkah atau tawaf mengelilingi Kabah di Masjidil Haram adalah perjuangan ibadah yang cukup berat.
Tapi Mbah Ruli dan Mbah Harun tak gentar. Barangkali mereka tahu agama ini selalu memberi ruang pada kemudahan dan kemoderatan.
Sebuah kisah mencatat Nabi memberikan sejumlah kemudahan yang dicatat oleh Abdulah bin Amr dengan detail. Pada pagi hari 10 Dzulhijjah 10 H di Mina, Nabi Muhammad SAW baru saja selesai melempar Jumratul-Aqabah. Seorang Sahabat berkata, “Ya Rasulullah, saya bercukur sebelum menyembelih,” Nabi berkata,”If al, la haraj. Lakukanlah, tidak apa apa.” Yang lain berkata,”Saya baru melempar setelah sore.” Kembali Nabi menjawab: “Laa haraj.” Puluhan orang bertanya, mengajukan cara berhaji termudah untuk mereka dan nabi selalu menjawab,” Laa Haraj.”
Yang tak terlupakan pada 2018 itu selain bertemu dengan Mbah Ruli, saya juga bisa berhaji bersama Ibu. Paling menggetarkan adalah ketika bersama ibu melihat Kabah.
Di depan bangunan kubus yang magis justru karena kesederhanaannya itu saya merasa luruh. Mata seketika hangat oleh lelehan air mata yang kita tahu bukan karena sedih atau putus asa. Saya hanya berdiri di belakang Ibu, sambil mengaminkan apapun doa-doanya.
Load more